Selasa, 29 Maret 2016

Hukuman Bagi Pelaku Hubungan Sejenis



 
Akhir akhir ini “kaum pelangi” sedang gencar-gencarnya mempromosikan “dagangannya” di Indonesia. Padahal hubungan seperti ini sangat tidak masuk akal maka dari itu penulis mengatakan kepada individu-individu yang memberi dukungan kepada “kaum pelangi” ini adalah orang yang sedang mengalami “kelainan akal”.

Berikut akan kami paparkan bagaimana hukuman pelaku “kaum pelangi” dalam syariat Islam, sebagaimana sabda Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ

Dari Ibnu Abbas, ia berkata, "Rasulullah bersabda, 'Orang yang kalian dapati tengah melakukan perbuatan yang biasa dilakukan oleh kaum nabi Luth, maka bunuhlah kedua pelakunya. {HR Abu Dawud 4462, Ibnu Majah 856, Tirmidzi 1456, Daruqutni 140}

Akan tetapi para Ulama berbeda pendapat mengenai jenis dan bentuk hukuman yang dikenakan kepada pelakunya. Timbulnya perbedaan ini karena perbedaan dalam menginterpretasi dalil dalil yang bersumber dari Qur’an, Hadist dan Atsar (fakta sejarah Shahabat). Mereka berbeda pendapat mengenai hukuman yang layak diberlakukan kepada para pelakunya.

Perbedaan yang muncul hanya menyangkut dua hal. Pertama, perbedaan shahabat dalam menentukan jenis hukuman. Kedua, perbedaan Ulama dalam mengkategorikan perbuatan tersebut, apakah dikategorikan zina atau bukan ?. Perbedaan ini berimplikasi terhadap kadar atau jenis hukuman yang dikenakan. Dan dibawah ini pendapat beberapa Ulama salaf.

1.   Imam Abu Hanifah berpendapat:

Praktek homoseksual tidak dikategorikan zina dengan alasan:
  • Karena tidak ada unsur (kriteria) kesamaan antara keduanya. Unsur menyia-nyiakan anak dan ketidakjelasan nasab (keturunan) tidak didapatkan dalam praktek homoseksual
  • Berbedanya jenis hukuman yang diberlakukan para Sahabat
Berdasarkan kedua alasan ini, maka Abu Hanifah berpendapat bahwa hukuman terhadap pelaku homoseksual adalah ta’zir (diserahkan kepada penguasa).

Menurut Muhammad ibn al Hasan asy Syaibani dan Abu Yusuf (keduanya murid Abu Hanifah): praktek homoseksual dikategorikan zina, dengan alasan adanya beberapa unsur kesamaan antara keduanya, seperti:

  • Tersalurkannya syahwat pelaku
  • Tercapainya kenikmatan
  • Tidak diperbolehkannya dalam Islam
  • Menumpahkan (menyia-nyiakan) air mani
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, keduanya berpendapat bahwa hukuman terhadap pelaku homoseksual sama seperti hukuman yang dikenakan kepada pezina, yaitu bila pelakunya muhshan (sudah menikah), maka dihukum rajam (dilempari batu sampai mati), dan kalau ghairu muhshan (bujang), maka dihukum cambuk dan diasingkan selama satu tahun.

2.   Imam Malik berpendapat:

Praktek homoseksual dikategorikan zina, dan hukuman yang setimpal untuk pelakunya adalah dirajam (bila ia baligh, berakal, dan tidak dipaksa), baik pelakunya muhshan atau ghairu muhshan {Manahul Jalil 19/455}

3.   Imam Syafi’i berpendapat:

Praktek homoseksual tidak dikategorikan zina, tetapi terdapat kesamaan; bahwa keduanya sama-sama merupakan hubungan seksual terlarang dalam Islam. Hukuman untuk pelakunya ialah: kalau pelakunya muhshan, maka dihukum rajam, dan kalau ghairu muhshan maka dihukum cambuk 100 kali lalu diasingkan selama satu tahun.

Pendapat ini sama dengan pendapat Said ibn Musayyib, Atha’ ibn Abi Rabah, An Nakha’i, al Hasan dan Qatadah {Majmu 20/22-24}

4.   Imam Ahmad berpendapat:

Praktek homoseksual dikategorikan zina. Mengenai jenis hukuman yang dikenakan kepada pelakunya Beliau mempunyai dua pendapat:

  • Dihukum sama seperti pezina, kalau pelakunya muhshan maka dihukum rajam, dan kalau pelakunya ghairu muhshan maka dihukum cambuk 100 kali lalu diasingkan selama satu tahun.
  • Dibunuh dengan dirajam, baik pelakunya muhshan atau ghairu muhshan {Al Mughni 10/155-157}
Terlepas dari beberapa pendapat para Imam diatas, dapatlah dikatakan jika hukuman dari perbuatan keji ini sangatlah pedih dan memalukan.

Setelah mengetahui hukum perbuatan keji ini dan hukuman bagi pelakunya, maka jelaslah kekeliruan pendapat yang mengatakan bahwa hubungan sejenis itu merupakan kelaziman yang dibuat oleh Allah - dan Allah berlepas diri dari yang mereka dustakan-.

Adapun  sikap seorang muslim, bila dibacakan kepadanya ayat Allah , hendaklah ia tunduk dan patuh pada perintah, dan menjauhkan diri dari larangan-larangan Allah . Hendaklah seseorang berjalan sesuai fitrahnya (naluri suci) yang selalu mengarahkan jiwa manusia kearah kebaikan. Janganlah sesekali mencoba untuk menghindari fitrah dan mengikuti hawa nafsu yang dapat mengantarkannya pada perbuatan fasik.

Allah berfirman:

Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik. {QS Ash Shaff 5}

Allah juga melarang orang-orang yang mengada-ada tentang suatu hukum dalam syariat Islam. Allah berfirman:

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. {QS An Nahl 116}

Semoga generasi kita tidak terjerumus dari rayuan-rayuan dan bisikan-bisikan kaum pelangi tersebut.


Wallahu a’lam

Sumber: Majalah As Sunnah Edisi 10/Thn XVI/Rabiul Awwal 1434H


Abu Jeehan
Pekanbaru, 21 Jumadil Akhir 1437H





Selasa, 08 Maret 2016

Beretika & Bermodal





Prolog

“Mas apa hukum kumpul-kumpul di keluarga orang yang meninggal?”
Tanya seorang awam kepada temannya yang dia pandang lebih paham agama, karena terlihat rajin ngaji.

“Haram!” jawabnya dengan tegas.
“Dalilnya apa?”.

“Eemm, apa ya? Ntar saya tanyakan dulu ke ustadz”
“Terus kalo yasinan dan tahlilan hukumnya apa?”

“Bid’ah!”
“Kalo yang ini dalilnya apa ?”
“Eemm, apa ya? Saya ngajinya gitu lo. Coba ntar saya tanyakan lagi ke ustadz.”

Demikian obrolan antara dua orang kawan berakhir.

Studi Kritis

Menilik jalannya dialog tersebut, menurut hemat kami, sekurang-kurangnya ada dua catatan penting yang perlu digoreskan untuk menanggapinya.

Catatan Pertama: Berdakwah Itu Perlu Memakai Etika

Satu hal yang kerap dilupakan oleh teman-teman ketika berdakwah, terutama saat menjawab pertanyaan perihal agama, adalah perlunya menggunakan etika atau seni berbicara. Saking urgennya sopan santun ini, sampai-sampai sebagian pakar pendidikan menyatakan bahwa ath thariiqah ahammu minal maaddah (metode penyampaian itu lebih penting dibandingkan materi yang akan disampaikan)

Dari sini kita bisa memahami mengapa kebatilan seringkali begitu laris, sebaliknya kebenaran kerap tidak diminati. Salah satu penyebabnya adalah karena kebatilan dibungkus dengan label yang amat menarik dan kebenaran dipaparkan oleh sebagian orang dengan cara yang sama sekali tidak simpatik.

Betul memang, bahwa dakwah itu perlu disampaikan dengan jelas dan lugas. Tapi “jelas” itu tidak mesti berarti langsung to the point. Jangan lupa ! Obyek dakwah kita amatlah beragam. Ada diantara mereka berasal dari kalangan berpendidikan, yang bila hanya didoktrin tanpa diiringi penjelasan yang memadai dan memuaskan, dakwah itu justru akan mental. Disinilah kita perlu memperhatikan kondisi psikologis tersebut dan pintar “bermain kata” saat mendakwahinya.

Lantas Jawaban Yang Lebih Pas Bagaimana ?

Untuk kasus tersebut diatas, mengenai  pertanyaan tentang hukum ngumpul-ngumpul di rumah keluarga orang yang meninggal, jawaban yang dilontarkan bisa misalnya, “sebatas ilmu yang saya dapatkan, acara ngumpul-ngumpul seperti itu, terutama pasca jenazah dimakamkan, terlebih hingga berhari-hari, tidak dibenarkan dalam agama. Apalagi sampai memberatkan mereka yang sedang berduka, untuk menyediakan sajian makan besar buat penduduk satu RT. Bukankah orang yang sedang tertimpa musibah seharusnya dibantu, bukan malah dibebani ? Jika demikian keadaannya, apa bedanya mereka dengan orang yang jatuh, masih tertimpa tangga pula ?”.

Begitu kira-kira jawaban simple yang bisa disampaikan padanya. Kuncinya ajaklah dia berpikir dan bangkitkan empatinya.

Untuk menguatkan jawaban, bisa anda menukil pesan Nabi , saat salah satu sahabatnya yang bernama Ja’far wafat,

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ لَمَّا قُتِلَ زَيْدُ بْنُ حَارِثَةَ وَجَعْفَرٌ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ جَلَسَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ يُعْرَفُ فِي وَجْهِهِ الْحُزْنُ وَذَكَرَ الْقِصَّةَ

Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena mereka sedang ditimpa sesuatu yang menguras (tenaga dan pikiran) mereka {HR Abu Dawud}

Namun keterangan diatas bukan berarti mengajarkan bahwa keluarga yang sedang ditimpa musibah tidak boleh ditemani dan dihibur oleh orang-orang dekatnya. Yang ingin disampaikan disini adalah, jangan sampai kita terjerumus dalam perilaku niyahah (meratap) yang dilarang Rasulullah . Yang salah satu potretnya adalah berkumpul-kumpul dan makan-makan di rumah si mayyit, tanpa alasan yang dibenarkan agama. Sebagaimana sabda Rasulullah dari Jarir bin Abdillah

“Kami (para sahabat Nabi) menilai kumpul-kumpul dan makan-makan di rumah keluarga orang yang meninggal setelah pemakamannya, termasuk kategori niyahah (meratap)” {HR Ahmad}

Adapun jawaban terhadap pertanyaan tentang Yasinan dan Tahlilan, maka perlu dijelaskan terlebih dahulu apa sebenarnya hukum asal membaca surah Yasin dan melantunkan kalimat Tahlil. Terangkan bahwa membaca surah Yasin itu berpahala besar, sebab termasuk dari Al Qur’an, yang tiap hurufnya mendatangkan sepuluh pahala. Melantunkan kalimat tahlil juga bagian dari amal ibadah istimewa, sebab kalimat thayyibah tersebut merupakan dzikir yang paling afdhal.

Setelah hal tersebut gamblang, barulah dijelaskan bahwa salah satu syarat fundamental diterimanya suatu ibadah adalah: tata caranya harus sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah . Sebagaimana telah maklum, bahwa tambahan suku kata “an” di akhir kata Yasin dan Tahlil, sehingga menjadi Yasinan dan Tahlilan, mengandung makna khusus. Yakni bukan semata membaca surah Yasin atau melantunkan kalimah Tahlil. Namun sudah merupakan istilah dari sebuah ritual yang ditentukan waktunya, tata caranya, bacaanya dan aturan-aturan main lain. Yang jika dicermati, bisa dipastikan ritual tersebut tidak ada dasar dalilnya dalam Qur’an maupun Sunnah. Atau dengan kata lain, amalan tersebut tidak ada tuntunannya dari Nabi . Sehingga tidak perlu diamalkan maupun dilestarikan.

Menjelaskan perbedaan antara hukum membaca surah Yasin dengan hukum ritual Yasinan, juga antara hukum melantunkan kalimat Tahlil dengan hukum menjalankan ritual Tahlilan, amat perlu dan amat penting. Untuk menepis anggapan dan tuduhan orang-orang jahil, bahwa kita mengharamkan membaca surah Yasin dan mengucapkan Tahlil. Kami menilai ini prinsipil; karena perspektif keliru tadi berbahaya jika dibiarkan. Sebab akan muncul kerancuan pemahaman, mengapa ibadah mulia dilarang untuk dikerjakan?!

Catatan Kedua: Berdakwah Itu Perlu Modal Ilmu

Melihat jawaban-jawaban yang dilontarkan ikhwan tersebut diatas, secara sekilas kita bisa melihat betapa njomplangnya perbandingan antara jawaban pertama dan kedua. Manakala ditanya tentang hukum ngumpul-ngumpul di rumah keluarga orang yang meninggal, juga hukum Yasinan dan Tahlilan dengan tegas dan lancar, ia menjawab, “Haram! Bid’ah?”. Namun begitu ditanya tentang landasan hukum tersebut, ketegasan tadi sontak berubah menjadi keraguan dan ketidakpastian. “Eemm, apa ya dalilnya. Saya ndak tahu. Kata Ustadz di pengajian seperti itu. Coba nanti saya tanyakan lagi ke Ustadz…”. Sebuah jawaban yang amat tidak meyakinkan apalagi memuaskan si penanya.

Fenomena kontradiktif seperti ini amat disayangkan banyak terjadi di kalangan ikhwan-akhwat, terlebih yang baru-baru ngaji. Fakta ini dirasakan oleh mereka atau tidak, sejatinya perilaku tersebut lebih banyak merugikan dakwah, dibanding menguntungkannya. Sebab lambat laun akan terbangun anggapan di masyarakat, bahwa para pengusung dakwah ini hanya pintar memvonis, tanpa bisa berargumen.

Perlu disadari oleh semua saja, entah itu Ustadz atau jamaah pengajian biasa, bahwa berdakwah itu perlu modal, terlebih modal ilmu. Bukan sekedar berbekal bonek (bondo nekat). Kesadaran ini seharusnya semakin melecut semangat kaum Muslimin dan Muslimat pada umumnya, untuk lebih giat lagi belajar agama. Bahkan bila perlu, berlatih menghafal dalil-dalil inti landasan prinsip pola beragama (manhaj).

Misalkan, dalil bahwa setiap ibadah harus ada landasannya. Antara lain sabda Nabi :

“Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari Kami (Allah   dan Rasulullah ) maka amalan itu akan tertolak” {HR Muslim}

Dalil kewajiban mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah , antara lain firmanNya:

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus {QS Al Bayyinah 5}

Dengan semakin bertambah tingginya animo masyarakat untuk mengenal dakwah salaf, juga semakin banyak tudingan-tudingan keji para musuhnya, kewajiban menyampaikan dakwah tidak lagi hanya dibebankan kepada para da’i dan ustadz. Pola pikir ini harus segera diakhiri. Justru setiap muslim dan muslimah perlu memberikan andilnya dalam berdakwah, sesuai dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing.

EPILOG

Pemaparan tadi itulah, kira-kira uraian yang kami sampaikan kepada ikhwan  pelaku dialog tersebut diatas, manakala dia berkonsultasi kepada kami via telpon. Guna membantunya menggarap “PR (Pekerjaan Rumah)” dari temannya yang kritis dalam bertanya.

Teknik menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas, insya Allah bukan sekedar permainan kata dan retorika kosong belaka. Namun merupakan secercah upaya untuk memperbaiki diri, terutama cara dan kualitas dakwah yang kita sampaikan. Agar bisa menapak hari esok yang lebih cerah, dengan idzin Allah .


Wallahu a’lam

Sumber: Majalah As-Sunnah Edisi 09/Thn XVI/Shafar 1434H/Januari 2013


Abu Jeehan
Pekanbaru, 29 Jumadil Awwal 1437H