Akhir akhir ini “kaum
pelangi” sedang gencar-gencarnya mempromosikan “dagangannya” di Indonesia.
Padahal hubungan seperti ini sangat tidak masuk akal maka dari itu penulis
mengatakan kepada individu-individu yang memberi dukungan kepada “kaum pelangi”
ini adalah orang yang sedang mengalami “kelainan akal”.
Berikut akan kami paparkan
bagaimana hukuman pelaku “kaum pelangi” dalam syariat Islam, sebagaimana sabda
Nabi Muhammad ﷺ yang diriwayatkan
oleh Ibn Abbas:
عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ
وَالْمَفْعُولَ بِهِ
Dari Ibnu Abbas,
ia berkata, "Rasulullah ﷺ bersabda, 'Orang yang
kalian dapati tengah melakukan perbuatan yang biasa dilakukan oleh kaum nabi
Luth, maka bunuhlah kedua pelakunya. {HR Abu Dawud 4462, Ibnu Majah 856,
Tirmidzi 1456, Daruqutni 140}
Akan tetapi para Ulama
berbeda pendapat mengenai jenis dan bentuk hukuman yang dikenakan kepada
pelakunya. Timbulnya perbedaan ini karena perbedaan dalam menginterpretasi
dalil dalil yang bersumber dari Qur’an, Hadist dan Atsar (fakta sejarah
Shahabat). Mereka berbeda pendapat mengenai hukuman yang layak diberlakukan
kepada para pelakunya.
Perbedaan yang muncul hanya
menyangkut dua hal. Pertama, perbedaan shahabat dalam menentukan jenis
hukuman. Kedua, perbedaan Ulama dalam mengkategorikan perbuatan
tersebut, apakah dikategorikan zina atau bukan ?. Perbedaan ini berimplikasi
terhadap kadar atau jenis hukuman yang dikenakan. Dan dibawah ini pendapat
beberapa Ulama salaf.
1.
Imam
Abu Hanifah berpendapat:
Praktek homoseksual tidak
dikategorikan zina dengan alasan:
- Karena tidak ada unsur (kriteria) kesamaan antara keduanya. Unsur menyia-nyiakan anak dan ketidakjelasan nasab (keturunan) tidak didapatkan dalam praktek homoseksual
- Berbedanya jenis hukuman yang diberlakukan para Sahabat
Berdasarkan kedua alasan
ini, maka Abu Hanifah berpendapat bahwa hukuman terhadap pelaku homoseksual
adalah ta’zir (diserahkan kepada penguasa).
Menurut Muhammad ibn al
Hasan asy Syaibani dan Abu Yusuf (keduanya murid Abu Hanifah): praktek
homoseksual dikategorikan zina, dengan alasan adanya beberapa unsur kesamaan
antara keduanya, seperti:
- Tersalurkannya syahwat pelaku
- Tercapainya kenikmatan
- Tidak diperbolehkannya dalam Islam
- Menumpahkan (menyia-nyiakan) air mani
Berdasarkan alasan-alasan
tersebut, keduanya berpendapat bahwa hukuman terhadap pelaku homoseksual sama
seperti hukuman yang dikenakan kepada pezina, yaitu bila pelakunya muhshan
(sudah menikah), maka dihukum rajam (dilempari batu sampai mati), dan kalau ghairu
muhshan (bujang), maka dihukum cambuk dan diasingkan selama satu tahun.
2.
Imam
Malik berpendapat:
Praktek homoseksual
dikategorikan zina, dan hukuman yang setimpal untuk pelakunya adalah dirajam
(bila ia baligh, berakal, dan tidak dipaksa), baik pelakunya muhshan
atau ghairu muhshan {Manahul Jalil 19/455}
3.
Imam
Syafi’i berpendapat:
Praktek homoseksual tidak
dikategorikan zina, tetapi terdapat kesamaan; bahwa keduanya sama-sama
merupakan hubungan seksual terlarang dalam Islam. Hukuman untuk pelakunya
ialah: kalau pelakunya muhshan, maka dihukum rajam, dan kalau ghairu muhshan
maka dihukum cambuk 100 kali lalu diasingkan selama satu tahun.
Pendapat ini sama dengan
pendapat Said ibn Musayyib, Atha’ ibn Abi Rabah, An Nakha’i, al Hasan dan
Qatadah {Majmu 20/22-24}
4.
Imam
Ahmad berpendapat:
Praktek homoseksual
dikategorikan zina. Mengenai jenis hukuman yang dikenakan kepada pelakunya
Beliau mempunyai dua pendapat:
- Dihukum sama seperti pezina, kalau pelakunya muhshan maka dihukum rajam, dan kalau pelakunya ghairu muhshan maka dihukum cambuk 100 kali lalu diasingkan selama satu tahun.
- Dibunuh dengan dirajam, baik pelakunya muhshan atau ghairu muhshan {Al Mughni 10/155-157}
Terlepas dari beberapa
pendapat para Imam diatas, dapatlah dikatakan jika hukuman dari perbuatan keji
ini sangatlah pedih dan memalukan.
Setelah mengetahui hukum
perbuatan keji ini dan hukuman bagi pelakunya, maka jelaslah kekeliruan
pendapat yang mengatakan bahwa hubungan sejenis itu merupakan kelaziman yang
dibuat oleh Allah ﷻ - dan Allah ﷻ berlepas diri dari yang mereka dustakan-.
Adapun sikap seorang muslim, bila dibacakan
kepadanya ayat Allah ﷻ, hendaklah ia tunduk
dan patuh pada perintah, dan menjauhkan diri dari larangan-larangan Allah ﷻ. Hendaklah seseorang berjalan sesuai
fitrahnya (naluri suci) yang selalu mengarahkan jiwa manusia kearah kebaikan.
Janganlah sesekali mencoba untuk menghindari fitrah dan mengikuti hawa nafsu
yang dapat mengantarkannya pada perbuatan fasik.
Allah ﷻ berfirman:
Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran),
Allah memalingkan hati mereka dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang
fasik. {QS Ash Shaff 5}
Allah ﷻ juga melarang orang-orang yang mengada-ada tentang suatu hukum
dalam syariat Islam. Allah ﷻ berfirman:
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang
disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "ini halal dan ini haram",
untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. {QS An Nahl 116}
Semoga generasi kita tidak
terjerumus dari rayuan-rayuan dan bisikan-bisikan kaum pelangi tersebut.
Wallahu a’lam
Sumber: Majalah As Sunnah
Edisi 10/Thn XVI/Rabiul Awwal 1434H
Abu Jeehan
Pekanbaru, 21 Jumadil Akhir
1437H