Selasa, 08 Maret 2016

Beretika & Bermodal





Prolog

“Mas apa hukum kumpul-kumpul di keluarga orang yang meninggal?”
Tanya seorang awam kepada temannya yang dia pandang lebih paham agama, karena terlihat rajin ngaji.

“Haram!” jawabnya dengan tegas.
“Dalilnya apa?”.

“Eemm, apa ya? Ntar saya tanyakan dulu ke ustadz”
“Terus kalo yasinan dan tahlilan hukumnya apa?”

“Bid’ah!”
“Kalo yang ini dalilnya apa ?”
“Eemm, apa ya? Saya ngajinya gitu lo. Coba ntar saya tanyakan lagi ke ustadz.”

Demikian obrolan antara dua orang kawan berakhir.

Studi Kritis

Menilik jalannya dialog tersebut, menurut hemat kami, sekurang-kurangnya ada dua catatan penting yang perlu digoreskan untuk menanggapinya.

Catatan Pertama: Berdakwah Itu Perlu Memakai Etika

Satu hal yang kerap dilupakan oleh teman-teman ketika berdakwah, terutama saat menjawab pertanyaan perihal agama, adalah perlunya menggunakan etika atau seni berbicara. Saking urgennya sopan santun ini, sampai-sampai sebagian pakar pendidikan menyatakan bahwa ath thariiqah ahammu minal maaddah (metode penyampaian itu lebih penting dibandingkan materi yang akan disampaikan)

Dari sini kita bisa memahami mengapa kebatilan seringkali begitu laris, sebaliknya kebenaran kerap tidak diminati. Salah satu penyebabnya adalah karena kebatilan dibungkus dengan label yang amat menarik dan kebenaran dipaparkan oleh sebagian orang dengan cara yang sama sekali tidak simpatik.

Betul memang, bahwa dakwah itu perlu disampaikan dengan jelas dan lugas. Tapi “jelas” itu tidak mesti berarti langsung to the point. Jangan lupa ! Obyek dakwah kita amatlah beragam. Ada diantara mereka berasal dari kalangan berpendidikan, yang bila hanya didoktrin tanpa diiringi penjelasan yang memadai dan memuaskan, dakwah itu justru akan mental. Disinilah kita perlu memperhatikan kondisi psikologis tersebut dan pintar “bermain kata” saat mendakwahinya.

Lantas Jawaban Yang Lebih Pas Bagaimana ?

Untuk kasus tersebut diatas, mengenai  pertanyaan tentang hukum ngumpul-ngumpul di rumah keluarga orang yang meninggal, jawaban yang dilontarkan bisa misalnya, “sebatas ilmu yang saya dapatkan, acara ngumpul-ngumpul seperti itu, terutama pasca jenazah dimakamkan, terlebih hingga berhari-hari, tidak dibenarkan dalam agama. Apalagi sampai memberatkan mereka yang sedang berduka, untuk menyediakan sajian makan besar buat penduduk satu RT. Bukankah orang yang sedang tertimpa musibah seharusnya dibantu, bukan malah dibebani ? Jika demikian keadaannya, apa bedanya mereka dengan orang yang jatuh, masih tertimpa tangga pula ?”.

Begitu kira-kira jawaban simple yang bisa disampaikan padanya. Kuncinya ajaklah dia berpikir dan bangkitkan empatinya.

Untuk menguatkan jawaban, bisa anda menukil pesan Nabi , saat salah satu sahabatnya yang bernama Ja’far wafat,

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ لَمَّا قُتِلَ زَيْدُ بْنُ حَارِثَةَ وَجَعْفَرٌ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ جَلَسَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ يُعْرَفُ فِي وَجْهِهِ الْحُزْنُ وَذَكَرَ الْقِصَّةَ

Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena mereka sedang ditimpa sesuatu yang menguras (tenaga dan pikiran) mereka {HR Abu Dawud}

Namun keterangan diatas bukan berarti mengajarkan bahwa keluarga yang sedang ditimpa musibah tidak boleh ditemani dan dihibur oleh orang-orang dekatnya. Yang ingin disampaikan disini adalah, jangan sampai kita terjerumus dalam perilaku niyahah (meratap) yang dilarang Rasulullah . Yang salah satu potretnya adalah berkumpul-kumpul dan makan-makan di rumah si mayyit, tanpa alasan yang dibenarkan agama. Sebagaimana sabda Rasulullah dari Jarir bin Abdillah

“Kami (para sahabat Nabi) menilai kumpul-kumpul dan makan-makan di rumah keluarga orang yang meninggal setelah pemakamannya, termasuk kategori niyahah (meratap)” {HR Ahmad}

Adapun jawaban terhadap pertanyaan tentang Yasinan dan Tahlilan, maka perlu dijelaskan terlebih dahulu apa sebenarnya hukum asal membaca surah Yasin dan melantunkan kalimat Tahlil. Terangkan bahwa membaca surah Yasin itu berpahala besar, sebab termasuk dari Al Qur’an, yang tiap hurufnya mendatangkan sepuluh pahala. Melantunkan kalimat tahlil juga bagian dari amal ibadah istimewa, sebab kalimat thayyibah tersebut merupakan dzikir yang paling afdhal.

Setelah hal tersebut gamblang, barulah dijelaskan bahwa salah satu syarat fundamental diterimanya suatu ibadah adalah: tata caranya harus sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah . Sebagaimana telah maklum, bahwa tambahan suku kata “an” di akhir kata Yasin dan Tahlil, sehingga menjadi Yasinan dan Tahlilan, mengandung makna khusus. Yakni bukan semata membaca surah Yasin atau melantunkan kalimah Tahlil. Namun sudah merupakan istilah dari sebuah ritual yang ditentukan waktunya, tata caranya, bacaanya dan aturan-aturan main lain. Yang jika dicermati, bisa dipastikan ritual tersebut tidak ada dasar dalilnya dalam Qur’an maupun Sunnah. Atau dengan kata lain, amalan tersebut tidak ada tuntunannya dari Nabi . Sehingga tidak perlu diamalkan maupun dilestarikan.

Menjelaskan perbedaan antara hukum membaca surah Yasin dengan hukum ritual Yasinan, juga antara hukum melantunkan kalimat Tahlil dengan hukum menjalankan ritual Tahlilan, amat perlu dan amat penting. Untuk menepis anggapan dan tuduhan orang-orang jahil, bahwa kita mengharamkan membaca surah Yasin dan mengucapkan Tahlil. Kami menilai ini prinsipil; karena perspektif keliru tadi berbahaya jika dibiarkan. Sebab akan muncul kerancuan pemahaman, mengapa ibadah mulia dilarang untuk dikerjakan?!

Catatan Kedua: Berdakwah Itu Perlu Modal Ilmu

Melihat jawaban-jawaban yang dilontarkan ikhwan tersebut diatas, secara sekilas kita bisa melihat betapa njomplangnya perbandingan antara jawaban pertama dan kedua. Manakala ditanya tentang hukum ngumpul-ngumpul di rumah keluarga orang yang meninggal, juga hukum Yasinan dan Tahlilan dengan tegas dan lancar, ia menjawab, “Haram! Bid’ah?”. Namun begitu ditanya tentang landasan hukum tersebut, ketegasan tadi sontak berubah menjadi keraguan dan ketidakpastian. “Eemm, apa ya dalilnya. Saya ndak tahu. Kata Ustadz di pengajian seperti itu. Coba nanti saya tanyakan lagi ke Ustadz…”. Sebuah jawaban yang amat tidak meyakinkan apalagi memuaskan si penanya.

Fenomena kontradiktif seperti ini amat disayangkan banyak terjadi di kalangan ikhwan-akhwat, terlebih yang baru-baru ngaji. Fakta ini dirasakan oleh mereka atau tidak, sejatinya perilaku tersebut lebih banyak merugikan dakwah, dibanding menguntungkannya. Sebab lambat laun akan terbangun anggapan di masyarakat, bahwa para pengusung dakwah ini hanya pintar memvonis, tanpa bisa berargumen.

Perlu disadari oleh semua saja, entah itu Ustadz atau jamaah pengajian biasa, bahwa berdakwah itu perlu modal, terlebih modal ilmu. Bukan sekedar berbekal bonek (bondo nekat). Kesadaran ini seharusnya semakin melecut semangat kaum Muslimin dan Muslimat pada umumnya, untuk lebih giat lagi belajar agama. Bahkan bila perlu, berlatih menghafal dalil-dalil inti landasan prinsip pola beragama (manhaj).

Misalkan, dalil bahwa setiap ibadah harus ada landasannya. Antara lain sabda Nabi :

“Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari Kami (Allah   dan Rasulullah ) maka amalan itu akan tertolak” {HR Muslim}

Dalil kewajiban mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah , antara lain firmanNya:

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus {QS Al Bayyinah 5}

Dengan semakin bertambah tingginya animo masyarakat untuk mengenal dakwah salaf, juga semakin banyak tudingan-tudingan keji para musuhnya, kewajiban menyampaikan dakwah tidak lagi hanya dibebankan kepada para da’i dan ustadz. Pola pikir ini harus segera diakhiri. Justru setiap muslim dan muslimah perlu memberikan andilnya dalam berdakwah, sesuai dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing.

EPILOG

Pemaparan tadi itulah, kira-kira uraian yang kami sampaikan kepada ikhwan  pelaku dialog tersebut diatas, manakala dia berkonsultasi kepada kami via telpon. Guna membantunya menggarap “PR (Pekerjaan Rumah)” dari temannya yang kritis dalam bertanya.

Teknik menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas, insya Allah bukan sekedar permainan kata dan retorika kosong belaka. Namun merupakan secercah upaya untuk memperbaiki diri, terutama cara dan kualitas dakwah yang kita sampaikan. Agar bisa menapak hari esok yang lebih cerah, dengan idzin Allah .


Wallahu a’lam

Sumber: Majalah As-Sunnah Edisi 09/Thn XVI/Shafar 1434H/Januari 2013


Abu Jeehan
Pekanbaru, 29 Jumadil Awwal 1437H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar