Minggu, 16 Agustus 2015

Membantah Ustadz Abu Syafiq Yang Menghina Syaikh Albani



Berikut ini kami posting artikel dari kajian al-Amiry.net yang membahas masalah onani yang tidak membatalkan puasa, sengaja penulis memposting karena tuduhan terhadap syaikh Albani telah disebarluaskan oleh jamaah ahlul bida’ wal firqoh yang seolah-olah tuduhan tersebut benar adanya. Berikut tulisan Ustadz Al Amiry tanpa ada penambahan dan pengurangan, silahkan disimak

Lucu memang melihat gagasan dari salah seorang ustadz pembenci dakwah salaf berasal dari negri jiran yang bernama Abu Syafiq. Dia ingin merendahkan syaikh Al-Albani namun dengan gagasan yang sangat-sangat lemah.

Mari kita simak perkataan Abu Syafiq:

“FATWA BUSUK WAHHABI BERONANI TIDAK BATAL PUASA. Onani / Melancap Di Siang Ramadhan TIDAK BATAL Puasa Walaupun Sengaja - Fatwa Terbodoh Wahabi Zaman Kini. Rujuk Di Atas Al-Albani Dlm Kitabnya Tamamul Minnah m/s 418 (gambar). Saya mohon kemaafan jika ia agak memalukan.. Tapi hanya utk menjelaskan betapa sesatnya Wahhabi ini mereka sering membawa fatwa2 yg sesat..  Oleh karena itu berhati-hatilah dalam mendapatkan fatwa hukum. Jangan ambil dari mufti wahhabi atau syiah atau selainnya. * Ada kawan saya minta tanyakan pada Wahabi2 AL Albaniy tu.. Soalan dia : Jika seorang Wahabon beronani disiang Ramadhan 30 kali sehari batal tak pose?? Sila jawab!!” (Lihat perkataan Abu Syafiq disini)

Jawab:

1- Kami sudah menulis permasalahan onani di siang ramadhan, apakah membatalkan puasa ataukah tidak. Namun yang benar, onani tidak membatalkan puasa namun pelakunya berdosa karena onani adalah haram.

Silahkan dibaca disini.

2- Apakah jika seorang ulama berfatwa bahwa onani tidak membatalkan puasa lantas dikatakan sebagai fatwa “busuk” “sesat” dan “wahhabi terbodoh”??

Kalau begitu maka Imam Ibnu Hazm, Imam As-Shana’ani, Imam Bukhari, Asy-Syaukani, Abu Bakr Al-Iskaf, Abu Al-Qasim adalah orang busuk, sesat, dan wahhabi terbodoh.

Maka saya tantang Abu Syafiq, beranikah Abu Syafiq mengatakan bahwasanya Ibnu Hazm adalah orang busuk dan Ash-Shana’ani adalah orang sesat dan Asy-Syaukani adalah wahhabi terbodoh??

=> Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata:

وَلاَ يَنْقُضُ الصَّوْمَ حِجَامَةٌ، وَلاَ احْتِلاَمٌ, وَلاَ اسْتِمْنَاءٌ, وَلاَ مُبَاشَرَةُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ أَوْ أَمَتَهُ الْمُبَاحَةَ لَهُ فِيمَا دُونَ الْفَرْجِ, تَعَمَّدَ الإِمْنَاءَ أَمْ لَمْ يُمْنِ, أَمْذَى أَمْ لَمْ يُمْذِ

“Dan puasa tidaklah batal karena bekam, mimpi basah, onani, atau karena mencium istri atau budak yang halal baginya selama yang menjadi objek bukanlah kemaluan, baik secara sengaja dia mengeluarkan mani ataukah tidak, baik dia mengeluarkan mani ataukah tidak” (Al-Muhalla 6/203)

Maka pertanyaannya buat Abu Syafiq yang terlalu gampang untuk menghina ulama: “Apakah Ibnu Hazm adalah wahhabi busuk? Dan apakah Ibnu Hazm adalah Wahhabi terbodoh??”

Beranikah Abu Syafiq mencela Ibnu Hazm sebagaimana dia telah mencela syaikh Al-Albani, hanya karena permasalahan ijtihad.

Hal ini menunjukkan betapa sempitnya dada beliau dalam menerima perbedaan pendapat fiqh.

=> Imam Ash-Shana’i rahimahullah berkata:

الْأَظْهَرُ أَنَّهُ لَا قَضَاءَ وَلَا كَفَّارَةَ إلَّا عَلَى مَنْ جَامَعَ وَإِلْحَاقُ غَيْرِ الْمُجَامِعِ بِهِ بَعِيدٌ

“Yang lebih jelas adalah bahwasanya mengeluarkan mani tidak perlu qadha ataupun kaffarah kecuali orang yang berjima’. Adapun menyambung-nyambungkan orang yang tidak jima’ dengan orang yang jima’ adalah sesuatu yang sangat jauh untuk disamakan” (Subul As-Salam 3/323)

Apakah Imam Ash-Shana’i adalah wahhabi bodoh menurut Abu Syafiq hanya karena beliau berpendapat bahwasanya onani tidak membatalkan puasa? Dan apakah Imam Ash-Shana’i adalah wahhabi sesat dalam masalah hal ini?

Mampukah Abu Syafiq menjawabnya?

=> Imam Bukhari juga berpendapat demikian. Hal ini dapat kita istinbatkan dalam kitab shohih beliau. Maka dari itu disebutkan dalam Fiqh Al-Bukhari:

أفاد فيهما إباحة الاستمتاع على الصائم عن طريق المباشرة والتقبيل إذا كان متملكا نفسه بحيث لا يفضي استمتاعه إلى الجماع, فلا يؤثر هذا الاستمتاع على صومه وإن أمنى

“Kedua bab ini (Bab bermesran dengan istri untuk orang yang berpuasa “Bab Al-Mubasyarah Li Ash-Sha’im dan bab orang yang puasa mencium istrinya “Bab Al-Qublah Li Ash-Shaim”) memberikan sebuah faidah bahwasanya diperbolehkan untuk orang yang berpuasa bermesraan dan mencium istrinya jika dia dapat menguasai dirinya sehingga hal tersebut tidak membawa kepada mencari kenikmatan dengan cara jima’. Maka hal tersebut tidaklah berbekas atas puasanya (tidak membatalkan puasanya)” (Fiqh Al-Imam Al-Bukhari hal. 69)

Imam bukhari membawakan sebuah riwayat dalam bab ini:

قَالَ جَابِرُ بْنُ زَيْدٍ: إِنْ نَظَرَ فَأَمْنَى يُتِمُّ صَوْمَهُ

“Jabir bin Zaid berkata: “Jika dia melihat istrinya kemudian dia mengeluarkan maninya maka hendaklah dia tetap melanjutkan puasanya (tidak batal)” (HR. Bukhari)

Apakah Imam Bukhari menurut Abu Syafiq adalah wahhabi dungu yang tersesatkan juga? Beranikah Abu Syafiq mengatakannya?

=> Abu Bakr Al-Iskaf dan Abu Al-Qasim yang mana keduanya adalah ahli fikh hanafi juga berkata demikian.

Disebutkan dalam Al-‘Inayah Syarh Al-Hidayah:

إذَا عَالَجَ ذَكَرَهُ بِكَفِّهِ حَتَّى أَمْنَى لَمْ يُفْطِرْ ( عَلَى مَا قَالُوا ) أَيْ الْمَشَايِخُ ، وَهُوَ قَوْلُ أَبِي بَكْرٍ الْإِسْكَافِ ، وَأَبِي الْقَاسِمِ لِعَدَمِ الْجِمَاعِ صُورَةً وَمَعْنًى

“Jika dia menggerakkan dzakarnya hingga mengeluarkan maninya, maka hal tersebut tidaklah membatalkan puasanya, hal tersebut sesuai apa yang mereka katakan yakni: para masyaikh. Dan dia adalah perkataan Abu Bakr Al-Iskaf dan Abu Al-Qasim. Hal tersebut karena hal tersebut sama sekali bukanlah jima’ baik dari sisi hakikatnya maupun maknanya”  (Al-‘Inayah Syarh Al-Hidayah 3/285)

Apakah beliau berdua juga wahhabi bodoh yang sesat menurut Abu Syafiq hanya karena keduanya berpendapat bahwasanya onani tidak membatalkan puasa?? Silahkan Abu Syafiq menjawabnya sendiri.

=> Dan ulama lainnya juga berpendapat demikian seperti Imam Ibnu Khuzaimah, Ibnu Muflih Al-Hanbali, Syaukani dll, yang mana saya rasa tidak perlu mencantumkan perkataan mereka demi untuk menyingkat pembahasan.

Maka kesimpulannya: Apakah para ulama yang telah kami sebutkan diatas adalah wahhabi menurut pandangan Abu Syafiq??

Kesimpulannya adalah bahwa Abu Syafiq terlalu gampang untuk mencela dan menghina terutama ini adalah permasalahan fikh. Apa karena masalah fikh, lantas Abu Syafiq berhak menyesatkan orang yang berselisih dengannya? Laa haula wa laa quwwata illaa billaah.

3- Perlu diketahui bahwasanya pembahasan apakah onani membatalkan puasa atau tidak adalah pembahasan tersendiri yang tidak ada kaitannya apakah onani haram ataukah tidak.

Syaikh Al-Albani tetap mengatakan bahwasanya onani adalah haram dan tidak boleh dilakukan. Beliau berkata:

وأما نحن فنرى أن الحق مع الذين حرموه

“Dan adapun kami, maka kami berpendapat bahwasanya kebenaran bersama para ulama yang mengharamkan onani” (Tamam Al-Minnah hal. 420)

Sehingga beliau menyatakan bahwasanya onani adalah haram, namun tidak membatalkan puasa. Hal ini dikatakan beliau sendiri dalam Tamam Al-Minnah yang mana Abu Syafiq menukil perkataan syaikh Al-Albani  dari kitab tersebut. Seharusnya Abu Syafiq membacanya juga.

Perlu diketahui pula, bahwasanya bukan semua yang haram dapat membatalkan puasa. Saya beri contoh: “Berdusta” berdusta adalah dosa dan suatu keharaman yang sangat munkar. Namun apakah berdusta membatalkan puasa? Atau sebaliknya, Abu Syafiq berani menyatakan bahwasanya berdusta adalah pembatal puasa???

4- Pembahasan fiqh penuh dengan ijtihad dan seharusnya bagi seluruh orang muslim untuk berlapang dada dalam menerima perbedaan pendapat dalam masalah fiqh terutama jika dia adalah seorang tokoh masyarakat.

Kenapa kita berani menyatakan bahwa fulan sesat dan fulan bodoh cuma karena berselisih pendapat mengenai perkara khilafiyyah ijtihadiyyah??

Seharusnya kita berpikir kembali. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda:

إِذَا حَكَمَ الحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ

“Jika seorang hakim (ulama) berhukum maka dia berijtihad kemudian dia benar maka dia mendapatkan 2 pahala. Dan jika dia berijtihad kemudian salah maka dia mendapatkan satu pahala” (HR. Bukhari)

Kalau Allah yang maha mulia memberikan pahala kalau ulama salah ijtihad lantas betapa beraninya kita yang penuh dosa menyesatkan orang??

Maka betapa tajamnya lisan ustaz Abu Syafiq yang terlalu mudah menyesatkan orang dan betapa sempit dadanya untuk menerima perbedaan pendapat dalam masalah fiqh yang penuh khilaf dan ijtihad.

Semoga yang sedikit ini bermanfaat. Wa shallallahu alaa nabiyyinaa Muhammad.

Artikel: alamiry.net (Kajian Al Amiry)

Pekanbaru, 02  Dzulqo’dah  1436H

Jumat, 07 Agustus 2015

Prioritaskan Dakwah Tauhid





Dakwah tauhid merupakan dakwah yang harus diutamakan oleh segenap para da’i karena ia adalah pondasi segala kebaikan. Karena dakwah tauhid adalah inti dakwah para Rasul dari mulai Nuh alaihis salam hingga Muhammad . Sebagaimana Allah berfirman:

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap ummat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah saja dan jauhilah taghut” (An Nahl 36)

Dakwah tauhid adalah dakwah Allah dan RasulNya lewat Kitab dan Sunnah, sedangkan dakwah selainnya merupakan buah pikiran manusia. Cukuplah keutamaan dakwah tauhid bahwa ia sebagai rukun Islam yang pertama dan kunci kebahagiaan dunia dan akhirat, ketika manusia lahir di dunia diajari kalimat tauhid supaya beribadah kepada Allah tanpa sekutu bagiNya dan disaat sakaratul maut di talqini kalimat tauhid agar dia mati dalam keadaan pasrah kepada Allah dan beruntung dengan surga

Tauhid Adalah Poros Perbaikan Umat

Dakwah perbaikan ummat manusia yang diserukan oleh para Rasul itu adalah dakwah tauhid, memerangi syirik. Karena kesyirikan adalah suatu kemungkaran dan kezhaliman yang paling besar di permukaan bumi ini. Dan tauhid yang diserukan oleh para Nabi dan Rasul adalah tauhid uluhiyah.

Sedangkan tauhid rububiyah pada zaman Nabi masyarakat kafir quraisy sudah meyakininya sebagaimana Allah berfirman:

“Katakanlah: siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi atau siapakah yang kuasa menciptakan pendengaran dan penglihatan dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan ? Maka mereka akan menjawab: Allah. Maka katakanlah: mengapa kamu tidak bertaqwa (kepadaNya)” {Yunus 31}

Makna dari ayat tersebut bahwa kaum musyrikin pada zaman Nabi mengakui/mengimani tauhid rububiyah, tetapi hal ini belum dapat memasukkan mereka dalam jenis tauhid yang menjadi tujuan dakwah para Rasul

Dakwah tauhid bukanlah dakwah global yang hanya menyeru kepada manusia “Ayo Bertauhid”, akan tetapi dakwah yang mulia ini memperinci mana yang tauhid dan mana yang syirik. Maka dengan demikian wajib atas setiap muslim untuk mempelajari tauhid serta mempelajari apa itu syirik agar tidak terjerumus dalam kesyirikan. Karena Allah berfirman:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” {An Nisa 48} 

Syubhat & Bantahan

Dakwah ini membutuhkan waktu yang panjang dan lama untuk memetik hasilnya, tapi justru hal itulah yang dituntunkan oleh syariat Islam. Kita tidak akan ditanya oleh Allah tentang berapa jumlah pengikut yang berhasil kita rekrut ? Tetapi yang akan ditanya adalah: Sudahkah kita menyampaikan kepada manusia sebagaimana yang diperintahkan. Lihatlah dakwah nabi Nuh selama 950 tahun, apakah beliau memulai dakwahnya dari politik atau dari manajemen qolbu, beliau hanya memulai dengan tauhid dan tauhid saja

Sebagian manusia menyangka bahwa dakwah tauhid hanya ditujukan kepada orang yang masih kafir saja mereka beranggapan bahwa kaum muslimin sudah bertauhid secara murni. Yang beranggapan seperti ini adalah tidak paham fakta atau dia tidak paham makna tauhid yang sebenarnya.

Kitab-kitab aqidah seperti Aqidah Thohawiyah dan selainnya yang ditulis oleh para ulama untuk disampaikan kepada kaum muslimin, ini menunjukkan fakta betapa rusaknya aqidah kaum muslimin baik perkataan maupun perbuatan, lalu bagaimana mungkin seorang da’i menuntut kaum muslimin untuk memperbaiki politik dan meninggalkan korupsi serta lainnya sementara tidak menuntut untuk memperbaiki aqidah serta meninggalkan syirik.

Apa faedah seruan perbaikan politik dan kejayaan Islam jika pelakunya yang diajak belumlah selamat dari kesyirikan. Apa arti politik dan kejayaan Islam ditangan kaum Jahmiyyah, Rafidhoh dan Quburiyyun. Apa faedah dari daulah Mu’tazilah di zaman Imam Ahmad atau daulah syi’ah Iran pada masa ini.

Orang yang mendakwahkan selain dakwah tauhid bagaikan orang yang mengharap buah tanpa menanam, atau ingin mendapat buah tanpa memanjat pohon atau menjulurkan tangan untuk mengambilnya. Maka buah hanyalah di alam khayal atau jika buah itu diperoleh dengan cara lain seperti dilempar maka buah tersebut akan cacat atau tidak utuh. Kenapa kita merasa cukup dengan buah yang cacat, padahal kita mampu untuk mendapatkan buah secara sempurna dengan cara yang mudah dan benar. Oleh karena itu, lebih baik lambat sekalipun terkadang tidak mendapatkan buah tetapi menempuh jalan yang benar, daripada cepat dan mendapat buah sekalipun tidak utuh tetapi menempuh jalan yang salah.

Sebagian da’i sekarang melihat kepada buah dan hasil yang diperoleh tanpa melihat jalan yang ditempuh, inilah kesalahan fatal dalam berdakwah. Menganggap bahwa jika politik baik maka Islam akan baik sehingga lebih mengutamakannya ketimbang dakwah tauhid. Dari sinilah timbul kerusakan-kerusakan dalam berdakwah.

Yang harus kita pahami ialah bahwa Allah membebani kita untuk mencocoki jalan yang Allah telah gariskan, bukan buah yang akan diperoleh. Apabila seorang da’i benar dalam meniti jalan dakwahnya walaupun tidak ada yang mengikutinya sebagaimana ada diantara para Nabi yang tidak memiliki pengikut. Cukuplah sebagai hasil dakwahnya bahwa dia telah beruntung dengan meniti jalan yang Allah tetapkan.

Semoga allah memberi taufiq kepada kita dan kepada segenap kaum Muslimin



Wallahu a’lam

Sumber :      Fiqih Dakwah Para Nabi
                   Kasyfus Syubhat
                   Majalah Al Furqon no 130


Abu Jeehan
Pekanbaru, 23 Syawwal 1436H

Senin, 03 Agustus 2015

Keutamaan Sholawat Pada Nabi




“Dari Anas bin Malik, beliau bersabda : “Barangsiapa yang mengucapkan sholawat kepadaku satu kali, maka Allah akan bersholawat baginya sepuluh kali, dan digugurkan sepuluh kesalahan (dosa)nya, serta ditinggikan baginya sepuluh derajat/tingkatan (disurga kelak) {HR An Nasa’i, Ahmad, Shohih Adabul Mufrod no 643}

Hadist yang mulia ini menunjukkan keutamaan membaca sholawat kepada Nabi dan anjuran memperbanyak sholawat tersebut, karena ini menjadi salah satu penyebab turunnya rahmat, pengampunan dan pahala-pahala yang berlipat ganda dari Allah
Beberapa faedah penting yang terkandung dalam hadist yang mulia ini:

o  Banyaknya membaca sholawat termasuk tanda cinta seorang muslim kepada Nabi . Para ulama mengatakan: “Barangsiapa mencintai sesuatu, maka dia akan sering menyebut-nyebutnya

o  Yang dimaksud sholawat disini adalah sholawat yang diajarkan Nabi dalam hadist-hadist yang shohih, bukan sholawat yang diada-adakan oleh orang-orang seperti sholawat nariyah, badriyah, barzanji dan sholawat-sholawat yang memang tidak pernah diajarkan oleh Nabi. Karena membaca sholawat adalah ibadah, maka syarat diterimanya ibadah harus ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Nabi 

o  Makna sholawat dari Allah kepada hambaNya adalah limpahan rahmat, pengampunan, pujian, kemuliaan dan keberkahan dariNya. Ada juga yang mengartikan dengan pemberian taufik dari Allah untuk mengeluarkan hambaNya dari kegelapan (kesesatan) menuju cahaya (petunjukNya), sebagaimana tertuang dalam firman Allah 

“Dialah yang bersholawat kepadamu (wahai manusia) dan malaikatNya (dengan memohon ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman (QS Al Ahzab 43)




Wallahu a’lam

Sumber : Majalah As Sunnah edisi 06/TH XIV/Dzulqo’dah 1431H/Oktober 2010

Abu Jeehan
Selasa, 19 Syawwal 1436H