Minggu, 20 September 2015

Menyingkap Syubhat Orientalis Tentang Hadist (2)







SYUBHAT KEDUA

Keterlambatan Penulisan Hadist

Kaum orientalis dan para pengikutnya mengatakan: Penulisan Hadist baru dilakukan diawal abad kedua Hijriyah, karena yang pertama kali memerintahkan untuk mengodifkasikan Hadist adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang menjabat sebagai khalifah pada tahun 99H dan meninggal 101H.

Bahkan Ignaz Goldziher mengatakan: Sesungguhnya bagian terbesar dari Hadist tiada lain kecuali hasil proses perkembangan religi, politik dan sosial yang muncul pada abad pertama dan kedua, dan sesungguhnya tidak benar apa yang dikatakan bahwa hadist adalah dokumnetasi Islam pada masa awal kelahirannya, akan tetapi ia adalah peninggalan dari usaha Islam di zaman kematangan atau keemasannya.

Perkataan Goldziher inilah yang dijadikan landasan oleh seluruh orientalis yang datang sepeninggalnya, terkhusus Joseph Schacht dan neo orientalis dalam keilmuan dan penelitian mereka tentang Islam

Dalam hal ini mereka berdalil dengan atsar yang dinukil oleh Imam Bukhori dalam Jami’nya: “Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada Abu Bakr bin Hazm, Perhatikanlah Hadist Rasulullah lalu tulislah (kodifikasikanlah), sesungguhnya saya khawatir hilangnya ilmu dan meninggalnya para ulama, dan janganlah kamu terima kecuali Hadist Rosulullah, dan hendaklah kalian tebarkan ilmu, dan hendaklah kalian duduk di majelis ilmu agar orang yang tidak tahu menjadi tahu, maka sesungguhnya ilmu tidak akan binasa kecuali bila dirahasiakan (tidak disebarkan)

BANTAHAN

Apa yang dikatakan para orientalis tentang keterlambatan penulisan Hadist adalah tidak benar. Hal itu disebabkan oleh kejahilan mereka tentang sejarah penulisan Hadist dan pengodifikasiannya serta perkembangannya, dan jauhnya mereka dari sikap ilmiah dan obyektif dalam hal ini, kebatilan tersebut ditinjau dari beberapa sisi:

Pertama: Bahwa mereka tidak memahami hakekat al kitabah yaitu: penulisan, at tadwin yakni pengodifikasian dan at tashnif yaitu penyusunan, mereka mencampuradukkan antara ketiga hakekat diatas.

Al kitabah bukanlah at tadwin dan at tadwin bukanlah at tashnif. Al kitabah adalah hanya sekedar penulisan sesuatu tanpa perhatian untuk mengumpulkan lembaran-lembaran yang ditulis dalam sebuah kitab, adapun at tadwin adalah tahapan yang datang setelah penulisan, yaitu pengodifikasian lembaran-lembaran yang telah ditulis dalam sebuah kitab. Adapun at tashnif (penyusunan) lebih khusus dari pengodifikasian, karena ia adalah penyusunan hadist-hadist yang telah ditulis dalam lembaran yang telah dikodifikasikan dalam fasal-fasal tertentu dan bab-bab yang terpisah.

Berdasarkan hal ini maka perkataan para ulama bahwa awal tadwin (pengodifikasian) hadist adalah pada akhir abad pertama, bukan berarti  bahwa hadist tidak ditulis selama masa itu. Namun maksudnya adalah bahwa Hadist telah ditulis dalam lembaran-lembaran yang terpisah dan belum sampai pada tahapan pengodifikasian (pengumpulan) dalam kitab khusus

Inilah yang tidak dipahami oleh kaum orientalis dan para pengikutnya. Mereka memahami bahwa penulisan sama dengan pengodifikasian. Dari sini jelaslah kekeliruan orang yang memahami perkataan “Orang yang pertama sekali mentadwin Hadist adalah Ibn Syihab az Zuhri” dengan orang yang pertama sekali menulis hadist adalah Imam Az Zuhri. Ini jelas kekeliruan yang nyata, karena penulisan bukan pengumpulan atau pengodifikasian.

Jadi perkataan diatas harus dipahami dan diterjemahkan dengan benar, yaitu orang yang pertama sekali mengodifikasikan lembaran-lembaran hadist yang telah ditulis dan menyusunnya adalah Imam Az Zuhri.

Barang siapa yang memperhatikan perkataan para Ulama dalam perkara ini maka akan jelas baginya bahwa maksud mereka adalah pengodifikasian bukan penulisan, seperti perkataan Ibnu Hajar al Asqolani dalam kitab beliau yang masyhur yakni Fathul baari: “Orang yang pertama kali mentadwin (mengodifikasikan) hadist adalah Ibn Syihab az Zuhri pada awal tahun 100 (awal abad kedua hijriyah) berdasarkan perintah Umar Ibn Abdulaziz, kemudian setelah itu bertambah banyak mengodifikasian kemudian penyusunan, dan dengan demikian terwujudlah kebaikan yang banyak”

Kedua: Bahwa khalifah Umar Ibn Abdulaziz tatkala memerintahkan untuk mengodifikasikan Hadist, bukan berarti beliau memulai dari sesuatu yang tidak ada. Beliau telah berpegang kepada lembaran-lembaran Hadist yang telah ditulis sebelumnya di zaman Rasul yang telah tersebar di seluruh penjuru dunia Islam tatkala itu. Ini adalah kenyataan ilmiah dan bukti historis yang tidak bisa dipungkiri oleh orang-orang yang bersikap ilmiah dan obyektif dalam penelitiannya.

Ketiga: Kenyataan diatas diperkuat oleh bukti sejarah yang otentik tentang penulisan Sunnah dalam lembaran-lembaran yang terpisah yang ada pada zaman shahabat, berikut beberapa contoh tentang hal ini:

Hadist pertama
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا عَمْرٌو قَالَ أَخْبَرَنِي وَهْبُ بْنُ مُنَبِّهٍ عَنْ أَخِيهِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ مَا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَدٌ أَكْثَرَ حَدِيثًا عَنْهُ مِنِّي إِلَّا مَا كَانَ مِنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو فَإِنَّهُ كَانَ يَكْتُبُ وَلَا أَكْتُبُ تَابَعَهُ مَعْمَرٌ عَنْ هَمَّامٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ

Telah menceritakan kepada kami 'Ali bin 'Abdullah berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan berkata, telah menceritakan kepada kami 'Amru berkata, telah mengabarkan kepadaku Wahhab bin Munabbih dari saudaranya berkata, aku mendengar Abu Hurairah berkata, Tidaklah ada seorangpun dari sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang lebih banyak haditsnya dibandingkan aku, kecuali 'Abdullah bin 'Amru. Sebab ia bisa menulis sedang saya tidak. Ma'mar juga meriwayatkan dari Hammam dari Abu Hurairah {HR Bukhori}

Hadist kedua
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ كُنْتُ أَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ أَسْمَعُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرِيدُ حِفْظَهُ فَنَهَتْنِي قُرَيْشٌ وَقَالُوا أَتَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ تَسْمَعُهُ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَشَرٌ يَتَكَلَّمُ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَا فَأَمْسَكْتُ عَنْ الْكِتَابِ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَوْمَأَ بِأُصْبُعِهِ إِلَى فِيهِ فَقَالَ اكْتُبْ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا يَخْرُجُ مِنْهُ إِلَّا حَقٌّ
Dari Abdullah bin Amru, dia berkata: Sesungguhnya aku telah menulis segala sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah untuk kemudian aku hafal. Namun banyak dari kaum Quraisy yang melarangku, mereka berkata, "Apakah kamu akan menulis segala sesuatu yang kamu dengar dari Rasulullah SAW, sedangkan beliau sendiri adalah manusia biasa yang bisa saja berbicara dalam keadaan senang dan marah?" Sehingga aku berhenti menulisnya! Lalu hal tersebut aku adukan kepada Rasulullah, beliau kemudian memberikan isyarat dengan jarinya yang menunjuk ke mulut beliau, beliau berkata, "Tulislah, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada yang keluar darinya (mulut ini) kecuali kebenaran." {HR Abu Dawud no 3646, As Shahihah 1532}

Hadist ketiga
أَبُو هُرَيْرَةَ قَالَ لَمَّا فُتِحَتْ مَكَّةُ قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ الْخُطْبَةَ خُطْبَةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَقَامَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ يُقَالُ لَهُ أَبُو شَاهَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ اكْتُبُوا لِي فَقَالَ اكْتُبُوا لِأَبِي شَاهَ
Dari Abu Hurairah, dia berkata: Ketika Makkah telah dikuasai kaum muslim, Rasulullah berdiri ... —kemudian perawi menyebutkan khutbah Rasulullah— Dia berkata: Lalu ada seseorang —dari Yaman yang kenal dengan nama Abu Syah— berdiri dan berkata kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, perintahkanlah para sahabatmu untuk menuliskan (khutbah Rasulullah) untukku." Rasulullah kemudian berkata, "Tuliskanlah (khutbah) untuk Abu Syah ini." {HR Abu Dawud no 3649}

Itulah sebagian dari lembaran-lembaran yang ditulis di zaman para shahabat yang memuat Hadist-Hadist Rasulullah , dan masih banyak di lembaran-lembaran lain yang ditulis oleh para shahabat. Hal ini menjelaskan kepada kita kebatilan pernyataan kaum orientalis bahwa Hadist baru ditulis diawal abad kedua hijriyah.

Hal ini juga menjelaskan kepada kita kebatilan perkataan kaum orientalis bahwa, Hadist adalah hasil perkembangan ideologi atau pemikiran, politik dan sosial atau budaya dalam kehidupan kaum Muslimin.




Sumber: Majalah As-Sunnah Edisi Rabi’ul Awwal 1433H

Pekanbaru, 07 Dzulhijjah 1436H

Kamis, 17 September 2015

Menyingkap Syubhat Orientalis Tentang Hadist (1)











Sejak awal abad 20 Masehi, Hadist Nabi telah menghadapi berbagai macam hujatan, celaan dan kritikan dari kaum orientalis. Mereka menebarkan bermacam syubhat tentang Hadist dengan tujuan menjauhkan kaum Muslimin dari Islam dan menanamkan bermacam keraguan dalam diri kaum Muslimin. Mereka diikuti oleh para neo orientalis dan kaum munafik yang membeo kepada mereka. Mereka rela menjual aqidah dan prinsip agama mereka kepada non Islam untuk menghancurkan Islam dari dalam.

Diantara tokoh sentral orientalis di barisan terdepan dalam menghujat Islam dan mengkritisi Hadist adalah Ignaz Goldziher (1850-1921) seoorang Yahudi yang menulis kitab “al Aqidah wasy syariah fil Islam” dan Joseph Schacht (1902-1969) seorang Nasrani yang berasal dari Inggris, penulis kitab “Ushul al fiqh al Muhammadi”. Karya tulis mereka inilah yang dijadikan sebagai rujukan dan referensi utama oleh dunia barat dalam mengkaji Islam terkhusus di kalangan orientalis yang datang setelah mereka dan pengikut mereka yang berasal dari dunia timur yang mempelajari Islam di dunia barat, atau yang terkontaminasi dengan pemikiran mereka dalam mengkaji Hadist dan fiqh Islam.

Berikut kami akan sebutkan sebagian syubhat kaum orientalis tentang Hadist dan bantahan Ulama Islam terhadapnya.

SYUBHAT PERTAMA

Larangan Nabi Dari Menulis Hadist

Para orientalis dan para pengikut mereka mengatakan bahwa seandainya Hadist tersebut sebagai hujjah atau dalil tentu Nabi memerintahkan untuk menulisnya, dan para shahabat dan tabi’in yang datang sepeninggal Beliau tentu akan melakukan hal itu, sehingga dengan demikian bisa dipastikan validitas atau kebenarannya sebagimana Al Qur’an. Namun kenyataannya, Nabi melarang penulisan Hadist dan memerintahkan untuk menghapus apa yang pernah ditulis, begitu juga para shahabat dan tabi’in sepeninggal Beliau . Bukan hanya itu saja, bahkan sebagian mereka tidak mau menyampaikan Hadist atau mengurangi atau menyedikitkan hal itu dan bahkan sebagian yang lain melarang dari memperbanyak menyampaikan dan meriwayatkan Hadist
Mereka menyebutkan dalam hal ini Hadist Muslim yang artinya “Janganlah kalian tulis dariku selain Al Qur’an, barangsiapa yang menulis sesuatu selain Al Qur’an maka hendaklah ia hapus”

Para orientalis mengatakan bahwa Hadist-hadist yang melarang menulis Hadist adalah palsu, hadist tersebut hanya sebagai hasil proses perkembangan agama, politik dan sosial yang muncul dalam Islam

BANTAHAN

Pernyataan diatas adalah pendapat batil dan tidak benar, karena tidak berlandaskan penelitian yang obyektif dan ilmiah. Pendapat itu hanya  berlandaskan hawa nafsu dan pemahaman yang salah serta rasa kebencian yang mendalam kepada Islam dan kepada Sunnah secara khusus, berikut beberapa argumentasi yang menjelaskan tentang kebatilannya:

Pertama: Tidak diragukan keshohihan Hadist Muslim tersebut. Namun, kaum orientalis dan para pengikut mereka menutup mata dan meninggalkan hadist-hadist yang memerintahkan para shahabat dan memotivasi mereka untuk menghafal hadist kemudian menyampaikan dan meriwayatkannya. Pada waktu yang sama Rasulullah memberikan ancaman keras terhadap perkataan yang mengatasnamakan Beliau padahal dusta, sebagaimana yang terdapat dalam Hadist Shahih Muslim di Kitab Muqaddimahnya:
حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ يَعْنِي ابْنَ عُلَيَّةَ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ صُهَيْبٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّهُ قَالَ إِنَّهُ لَيَمْنَعُنِي أَنْ أُحَدِّثَكُمْ حَدِيثًا كَثِيرًا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ تَعَمَّدَ عَلَيَّ كَذِبًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
“Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Ismail -yaitu Ibnu 'Ulayyah- dari Abdul Aziz bin Shuhaib dari Anas bin Malik bahwasanya dia berkata, 'Sesungguhnya sesuatu yang menghalangiku untuk menceritakan hadits yang banyak kepada kalian adalah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa yang sengaja melakukan kedustaan atas namaku, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya dari neraka'."

عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ

Dari Zaid bin Tsabit, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda, "Allah akan membaguskan akhlak seseorang yang mendengar hadits dari kami kemudian dia menghafalnya lalu menyampaikanya kepada orang lain. Berapa banyak orang yang menyampaikan ilmu (hadits) kepada orang yang lebih pandai darinya dan berapa banyak orang yang menyampaikan ilmu (hadits) tapi ia tidak memahaminya" {HR Abu Dawud 3660}

Dan hadist-hadist lain yang semakna agar memerintahkan menghafal Hadist dan menyampaikannya serta perintah untuk berhati-hati dalam menisbatkan Hadist yang palsu atau tidak ada asal-usulnya kepada Rasulullah 

Hal ini menjelaskan kepada kita akan pentingnya makna Sunnah dalam Islam, bahwa ia adalah hujjah dan sumber hukum dalam segala perkara agama, bukan hasil proses perkembangan ideologi, politik dan sosial yang dialami oleh kaum Muslimin, sebagaimana yang dikatakan oleh para orientalis dan kaum “Islam Nusantara” di Indonesia ini.

Kedua: Terdapat Hadist-Hadist shohih yang memerintahkan dan mengizinkan untuk menulis Hadist, sebagaimana dalam hadist berikut:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ كُنْتُ أَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ أَسْمَعُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرِيدُ حِفْظَهُ فَنَهَتْنِي قُرَيْشٌ وَقَالُوا أَتَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ تَسْمَعُهُ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَشَرٌ يَتَكَلَّمُ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَا فَأَمْسَكْتُ عَنْ الْكِتَابِ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَوْمَأَ بِأُصْبُعِهِ إِلَى فِيهِ فَقَالَ اكْتُبْ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا يَخْرُجُ مِنْهُ إِلَّا حَقٌّ

Dari Abdullah bin Amru, dia berkata: Sesungguhnya aku telah menulis segala sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah untuk kemudian aku hafal. Namun banyak dari kaum Quraisy yang melarangku, mereka berkata, "Apakah kamu akan menulis segala sesuatu yang kamu dengar dari Rasulullah SAW, sedangkan beliau sendiri adalah manusia biasa yang bisa saja berbicara dalam keadaan senang dan marah?" Sehingga aku berhenti menulisnya! Lalu hal tersebut aku adukan kepada Rasulullah, beliau kemudian memberikan isyarat dengan jarinya yang menunjuk ke mulut beliau, beliau berkata, "Tulislah, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada yang keluar darinya (mulut ini) kecuali kebenaran." {HR Abu Dawud no 3646, As Shahihah no 1532}

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا عَمْرٌو قَالَ أَخْبَرَنِي وَهْبُ بْنُ مُنَبِّهٍ عَنْ أَخِيهِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ مَا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَدٌ أَكْثَرَ حَدِيثًا عَنْهُ مِنِّي إِلَّا مَا كَانَ مِنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو فَإِنَّهُ كَانَ يَكْتُبُ وَلَا أَكْتُبُ تَابَعَهُ مَعْمَرٌ عَنْ هَمَّامٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ

Telah menceritakan kepada kami 'Ali bin 'Abdullah berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan berkata, telah menceritakan kepada kami 'Amru berkata, telah mengabarkan kepadaku Wahhab bin Munabbih dari saudaranya berkata, aku mendengar Abu Hurairah berkata, Tidaklah ada seorangpun dari sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang lebih banyak haditsnya dibandingkan aku, kecuali 'Abdullah bin 'Amru. Sebab ia bisa menulis sedang saya tidak. Ma'mar juga meriwayatkan dari Hammam dari Abu Hurairah {HR Bukhori di Kitab Al Ilmu}

Dari kedua Hadist diatas, kenapa kaum orientalis  serta pengikutnya senantiasa mengatakan bersikap obyektif dan ilmiah, kenapa mereka menutup mata dan tidak menukil hadist-hadist dan perkataan para shahabat dan tabi’in yang mengizinkan dan memerintahkan untuk menulis dan meriwayatkan hadist, mana sikap obyektif dan ilmiah mereka, atau mereka hanya bersikap obyektif bila perkara tersebut sesuai dengan hawa nafsu mereka.

Ketiga: Adapun perkataan kaum orientalis bahwa “larangan tersebut menjelaskan bahwa hadist bukanlah hujjah” ini adalah kebatilan yang nyata, sebab para ulama telah menjeaskan bahwa larangan tersebut bukanlah larangan secara mutlak, akan tetapi karena beberpa faktor, diantaranya:
·         Larangan tersebut khusus tentang penulisan hadist bersama al Qur’an dalam satu lembaran, karena dikhawatirkan akan terjadi percampurbauran antara Qur’an dan Hadist tanpa ada beda antara keduanya
·         Larangan tersebut khusus diwaktu turunnya Al Qur’an, karena dikhawatirkan akan tercampur Al Qur’an dengan selainnya, sedangkan izin menulis adalah diwaktu selain itu
·         Sebab larangan tersebut, karena kekhawatiran akan menyibukkan kaum Muslimin dari memperhatikan Qur’an dan lebih mengutamakan Hadist, sehingga akan menyebabkan ditinggalkannya Qur’an dan diabaikan
·         Larangan tersebut disebabkan kekhawatiran muculnya sikap mengandalkan tulisan saja sehingga meninggalkan hafalan.

Dari penjelasan para Ulama, jelaslah kebatilan kaum orientalis beserta para pengikutnya, bahwa faktor yang menyebabkan larangan penulisan Hadist adalah Nabi dan para shahabat tidak ingin ada kitab lain bersama Al Qur’an, dan tidak menghendaki Hadist menjadi landasan agama seperti Al Qur’an.



Sumber: Majalah As-Sunnah Edisi Rabi’ul Awwal 1433H

Pekanbaru, 03 Dzulhijjah 1436H

Senin, 07 September 2015

Keutamaan Sholat Sunnah Di Rumah











Dari Zaid ibn Tsabit bahwa Rasulullah bersabda: “Hendaknya kalian mengerjakan sholat di rumah-rumah kalian, karena sesungguhnya sebaik-baik sholat seseorang adalah di rumahnya, kecuali sholat maktubah (fardhu)” {HR Bukhori-Muslim}

Hadist yang mulia ini menunjukkan keutamaan sholat sunnah (yang bersifat anjuran dan tidak diwajibkan) yang dikerjakan di rumah dan itu lebih utama daripada sholat sunnah yang dikerjakan di masjid. Bahkan dalam hadist shahih yang lain terdapat penjelasan bahwa keutamaan tersebut dijadikan berlipat ganda.

Rasulullah bersabda:

“Sholat sunnah yang dikerjakan seseorang tanpa dilihat orang lain sebanding dengan dua puluh lima (kali) sholat (sunnah) yang dikerjakannya di hadapan orang lain”{HR Abu Ya’la dishohihkan oleh Syaikh Albani dalam Shohihul Jami’ no 3821}

Faedah penting dari hadist ini adalah:

o  Keutamaan ini berlaku umum untuk semua sholat sunnah, baik rawatib maupun yang lainnya, kecuali sholat sunnah yang termasuk syi’ar Islam seperti sholat gerhana, istisqo’ (mohon diturunkan hujan) dan tarawih, maka sholat-sholat ini disyariatkan untuk dilaksanakan di masjid secara berjama’ah. Demikian pula sholat tahiyyatul masjid karena berhubungan dengan masjid

o  Imam al Munawi berkata, “ibadah-ibadah sunnah disyariatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan ikhlas untuk (mengharapkan balasan) memandang wajahNya (yang Maha Mulia di akhirat nanti). Karenanya semakin sholat itu tersembunyi (dalam melaksanakannya) berarti kian jauh dari perbuatan riya’ dan pandangan manusia. Sedangkan ibadah-ibadah yang wajib disyariatkan untuk meninggikan agama Islam dan menampakkan syi’ar-sy’iarnya, maka selayaknya dilaksanakan secara (terang-terangan) dihadapan manusia” {faidhul Qodir IV/220}

o  Beberapa manfaat dan kebaikan mengamalkan sholat-sholat sunnah di rumah, diantaranya:
-  Menghidupkan sunnah Rasulullah
- Memudahkan untuk meraih keikhlasan yang lebih sempurna dan pahala yang lebih besar
- Pengaruh positif dan teladan kebaikan bagi anggota keluarga, terutama anak-anak kecil, dengan mereka selalu melihat praktek sholat dihadapan mereka, sehingga mereka mudah mengikuti dan menirunya
o  Termasuk manfaat besar melaksanakan sholat sunnah di rumah adalah menjadikan rumah selalu hidup dan bercahaya serta menjadi motivasi bagi para penghuninya untuk giat melakukan ketaatan kepada Allah , sebagaimana Rasulullah bersabda:

“Perumpamaan rumah yang disebut nama Allah didalamnya dan rumah yang tidak disebut nama Allah didalamnya adalah seperti perumpamaan orang yang hidup dan orang yang mati”

Imam Nawawi berkata didalam syarh shohih Muslim, “Dalam hadist ini terdapat anjuran untuk (banyak) berdzikir kepada Allah (termasuk melaksanakan sholat-sholat sunnah, membaca Qur’an dan dzikir-dzikir lainnya) di rumah jangan dikosongkan dari berdzikir (kepada Allah )

o  Demikian pula manfaat besar untuk mengusir dan menjauhkan setan dari rumah, yang dia merupakan musuh utama yang selalu mengajak manusia berbuat buruk
Dalam sebuah hadist shohih Rasulullah bersabda:

“Janganlah kamu menjadikan rumahmu (seperti) kuburan (dengan tidak pernah mengerjakan sholat dan membaca al Qur’an didalamnya). Sesungguhnya setan akan lari dari rumah yang dibaca didalamnya surat Al Baqoroh”{HR Muslim 780}

Ini adalah satu manfaat yang sangat besar, karena bagaimana mungkin akan terwujud kebaikan dan kebahagiaan dalam rumah yang dipenuhi setan, sebagai akibat tidak disemarakkan sholat-sholat sunnah dan bacaan al Qur’an didalamnya ? padahal sifat setan sebagaimana Allah gambarkan dalam firmanNya:

“Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui” {Al Baqoroh 169}

Sumber: Majalah As-Sunnah Edisi 01 Rajab 1436H/Mei 2015

Pekanbaru, 25 Dzulqo’dah 1436H