Selasa, 12 Januari 2016

Kisah Para Pengajar Al Qur’an





Para ulama mengatakan bahwa orang yang pertama kali mempraktekkan halaqoh untuk membaca Al Qur’an adalah seorang Shahabat yang mulia Abu Darda’. Dari Muslim bin Musykim, ia berkata, “Abu Darda’ berkata kepadaku, “Hitunglah siapa saja yang ada di majelis kita”.

Ia melanjutkan, “Mereka berjumlah seribu enam ratus lebih. Mereka belajar membaca Al Qur’an dan berlomba-lomba dalam membacanya secara sepuluh orang-sepuluh orang. Bila telah selesai shalat Subuh, maka ia membaca satu juz. Orang-orang mengelilinginya dan mendengarkan bacaannya. Ibnu Amir adalah orang yang paling menonjol diantara mereka. Setiap sepuluh orang, ada seorang yang bertugas menyampaikan bacaan secara talaqqi. Bila ada yang lancer bacaannya, maka ia membaca di hadapan Abu Darda’”.

Abu Abdurrahman As Sulami, wafat tahun 74H, mengajarkan bacaan Al Qur’an di masjid agung selama 40 tahun. Ibnu Ahzam memiliki sebuah halaqoh yang besar di masjid Damaskus. Orang-orang membaca Al Qur’an di hadapannya selepas shalat Subuh hingga waktu Dzuhur.

Al Baghdadi, seorang pengajar Al Qur’an bagi orang-orang buta dan pendidik bagi umat ini. Para rawi meriwayatkan bahwasanya Abu Manshur Al Baghdadi mengajarkan Al Qur’an selama bertahun-tahun, membacakan bacaan Al Qur’an kepada mereka serta menuntun bacaan bagi orang yang buta. Ibnu Mujahid (wafat tahun 324H), dalam halaqohnya dihadiri 84 khalifah. Dalam halaqohnya juga terdapat 15 orang terlatih utusan Ashim yang belajar membaca Al Qur’an secara talaqqi.

Muhammad bin Abi Ma’ali mengajarkan bacaan Al Qur’an dan menyampaikannya secara talaqqi selama 60 tahun. Hingga ia telah membacakan Al Qur’an kepada para anak dan cucunya semata karena mengharap pahala dari Allah . Ia tak pernah meminta upah sedikitpun. Ia makan dari hasil kerja tangannya sendiri. Sabi’ bin Al Muslim mengajarkan bacaan Al Qur’an kepada orang-orang mulai dari waktu Subuh hingga mendekati waktu Dzuhur dalam kondisi lumpuh. Ia senantiasa ditandu untuk dibawa ke masjid jami’.

Beberapa contoh tersebut hanya sebagian kecil dari biografi dan kisah orang-orang yang telah diukir oleh sejarah. Kami memaparkannya bagi generasi hari ini dan yang akan dating sebagai cahaya yang mampu menerangi jalan mereka. Sehingga Al Qur’an akan menjadi penyubur hati dan cahaya dalam dada kita. Alangkah bahagianya orang-orang yang mendapat pujian dan persaksian langsung dari Rasulullah melalui Sabdanya:

حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ مَرْثَدٍ عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَفْضَلَكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim Telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Alqamah bin Martsad dari Abu Abdurrahman As Sulami dari Utsman bin 'Affan ia berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Orang yang paling utama di antara kalian adalah seorang yang belajar Al Qur`an dan mengajarkannya." {HR Bukhori}

Sebab pengajaran yang sempurna dan yang mendatangkan manfaat tidak hanya sekedar mengajarkan bacaan dan menghafalnya semata. Namun, mampu menanamkan makna-makna Al Qur’an dalam jiwa, mendidik generasi mendatang untuk mencintai Al Qur’an, mengagungkannya, beradab dengan adab-adabnya serta mengamalkan kandungannya.

Ini merupakan tugas mulia, salah satu upaya untuk menjaga umat ini dan salah satu langkah penting untuk menyiapkan bangunan yang menjulang tinggi. Ini merupakan tugas Anda, wahai para pengajar Al Qur’an. Ingatlah selalu firman Allah :

“Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia…”{QS Thaahaa 131}



Wallahu a’lam

Sumber:
Kisah Inspiratif Para Penghafal Al Qur’an, Ahmad Salim Badwilan


Abu Jeehan
Pekanbaru, 03 Rabi’ul Akhir 1437H

Sabtu, 09 Januari 2016

Sufi beribadah Dengan Menari-Nari ??!






Masyarakat umumnya memandang persoalan menari berhubungan dengan seni dan budaya. Berbeda dengan kalangan sufi, mereka memastikan ada ritual tertentu yang berfungsi sebagai amalan sholeh layaknya ibadah-ibadah yang lain. Belakangan tidak asing lagi dipertontonkan, aksi berdzikir (beribadah) kepada Allah melalui cara berputar-putar secara teratur dengan kecepatan yang kian bertambah kencang, yang dikenal dengan sebutan Whirling Dervishes (darwis-darwis yang berputar) atau tarian sama’. Pada akhirnya menurut mereka, para penari akan mengalami keadaan ekstase (fana’), melebur bersama Allah .

Atribut mereka, mengenakan topi yang memanjang keatas, jubah hitam besar, baju putih yang melebar di bagian bawahnya seperti rok, serta tanpa alas kaki. Mereka membungkukkan badan tanda hormat lalu mulai melepas jubah hitamnya. Posisi tangan mereka menempel di dada, bersilang mencengkram bahu. Demikian gambaran global tarian spiritual tersebut.

Sebagai pihak satu-satunya yang melegalkan praktek tersebut, mereka menguatkannya dengan menyebutkan fadhilah (keutamaan) amalan tersebut diantaranya:

-      Meyakini bahwa pelakunya mendapat pahala sebagaimana orang-orang yang berbuat amal sholeh
-      Meyakini bahwa menari adalah salah satu faktor efektif untuk menggerakkan keimanan dan amalan hati, seperti khauf, khasyyah, mahabbah, roja’, sehingga tidak boleh dikatakan sebagai tindakan main-main
-      Meyakini sebagai faktor yang mendatangkan rahmat
-      Menyatakan itu dianjurkan dalam syariat
-      Menyatakan seorang muslim harus melakukannya untuk menuju Allah
Ini semua hanyalah rekaan kaum sufi semata yang tidak berdasar sama sekali dari syariat, untuk membenarkan ibadah yang digagas oleh Jalaludin ar Rumi dan menarik simpati umat

Apakah Hal Ini Disyariatkan ???

Kaedah menyatakan pada asalnya hukum ibadah adalah HARAM kecuali disyariatkan oleh Allah dan Rasulullah . Maka, tidak diragukan lagi bila hukum tarian spiritual yang ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah tersebut tidak boleh (haram). Berikut beberapa dalil pengharamannya

1.   Allah berfirman:

Dan tinggalkan lah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau {QS Al An’am 70}
Pada ayat ini Allah mencela kaum musyrikin yang menjadikan acara permainan sebagai ajaran agama. Demikian juga penganut ajaran sufi, celaan pada ayat juga mengenai mereka karena menjadikan tarian yang jelas merupakan salah satu bentuk acara main-main dan melalaikan sebagai ajaran agama untuk mendekatkan diri kepada Allah .

2.   Allah berfirman:

Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? {QS Asy Syuro 21}
Ayat ini mengharamkan tarian sufi karena menari dalam rangka beribadah tidak pernah diperintahkan Allah dan tidak diperkenankan untuk dijadikan sebagai sarana beragama dan beribadah, maka menjadikannya sebagai acara agama dan ibadah sebagaimana yang dilakukan oleh kaum sufi menunjukkan pensyariatan sesuatu yang bukan berasal dari Allah , dan ini tidak boleh.

3.   Allah berfirman:

Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Rabbnya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah {QS Az Zumar 23}
Ayat ini juga membantah tarian-tarian ibadah ala sufi, sebab telah menjelaskan kondisi kaum mukminin saat mendengarkan dan menyimak dzikir yang masyru’ (disyariatkan). Kondisi  kaum mukminin yang mengenal Allah , yang takut kepada hukumanNya, ketika mendengar firmanNya, janji dan ancamanNya, hati mereka melunak, air mata bertetesan, kulit gemetar, tampak khusyu dan penuh ketenangan. Tidak seperti yang dilakukan orang-orang sufi dengan bergerak-gerak menari-nari dengan ritme tertentu.

Maka kita katakan kepada mereka ini, “Kondisimu tidak akan pernah menyamai kondisi Rasulullah dan kondisi para Shahabat dalam hal ma’rifatullah, khauf, dan ta’zhim (pengagungan) terhadap kebesaranNya. Meskipun demikian kondisi mereka saat mendengarkan mauizhah ialah memahaminya dan menangis karena takut kepadaNya. Siapa saja yang kondisinya tidak seperti ini berarti bukan diatas petunjuk mereka dan diatas jalan mereka.

4.   Rasulullah bersabda:

وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ
Setiap perkara baru dala agama adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan di dalam neraka {HR An Nasa’i 1560}
Karena tarian yang ditujukan ibadah kepada Allah, tidak pernah ada di zaman Nabi dan para shahabat, berarti merupakan ibadah baru dan setiap ibadah yang tidak dikenal di zaman Nabi maka termasuk bid’ah.

Al Ghozali menyanggah penggunaan dalil ini untuk mengharamkan tarian yang ia dukung itu. Katanya, “Tidak setiap yang dihukumi boleh (harus) ada riwayat dari Shahabat. Yang terlarang hanyalah melakukan bid’ah yang bertentangan dengan petunjuk Nabi yang sudah ada. Sementara itu, tidak ada riwayat yang melarang ini semua (tarian agama)”.

Syaikhul Islam Ibn Taimiyah meluruskan pernyataan diatas dengan berkata, “Sesungguhnya mempertahankan keumuman perkataan Nabi ‘setiap bid’ah adalah sesat’ itu harus, dan wajib mengamalkan keumuman maknanya. Barangsiapa mengklasifikasikan bid’ah menjadi baik dan jelek dan menjadikannya (klasifikasi tersebut) sebagai alasan untuk tidak melarang adanya bid’ah sungguh ia telah keliru. Sebagaimana yang dilakukan oleh kalangan mutafaqqihah (kaum kurang ilmu), ahlul kalam dan kaum sufi serta ahli ibadah (yang tidak mengikuti petunjuk Nabi). Jika mereka dilarang dari ibadah-ibadah dan praktek beragama yang baru (diada-adakan), mereka berkilah bahwa tidak ada bid’ah yang diharamkan kecuali yang dilarang. Sehingga hadist itu menjadi “setiap yang dilarang”…”setiap yang diharamkan” atau “setiap yang menyelisihi” nash Nabi maka merupakan dholalah (kesesatan). Kesalahan ini terlalu jelas untuk dijelaskan lagi, karena setiap yang tidak disyariatkan dalam agama adalah sesat.

5.   Ijma Ulama

Umat Islam telah sepakat bahwa tarian sufi adalah bid’ah dan hukumnya dilarang. Sejumlah ulama telah menegaskannya, semisal Ibn Taimiyah, Abu Bakar ath Tharthusi, Taqiyudin as Subki, Ibn Hajar al Haitami, Abu Abdullah al Qurthubi, Ibn Katsir, Ibrahim bin Muhammad al Hanafi

6.   Akal Sehat

Sesungguhnya menari (tarian) petunjuk kurang akalnya orang yang melakukan, sebagaimana dikatakan Imam Malik bin Anas. Islam datang untuk menyempurnakan perilaku bani Adam dan melarang mereka dari perkara-perkara yang mengurangi akal mereka.

Syariat Islam tidak menyinggung tarian, baik dalam Qur’an dan Hadist. Hal itu juga belum pernah dilakukan oleh satu Nabi pun dan satu tokoh dari para pengikut Nabi. Karena mereka belum melakukannya, ini menunjukkan tarian sama tidaklah mengandung satu kebaikanpun. Seandainya itu baik, tentu para Sahabat akan berlomba untuk melakukannya.

Tarian sufi berisi sejumlah keburukan seperti hilangnya muru’ah (kewibawaan), tasyabbuh (menyerupai) dengan wanita dan anak-anak kecil, menyerupai binatang-binatang dan menyerupai penganut Nasrani yang menjadikan tarian sebagai bagian dari agama mereka, mencampuradukkan antara maksiat dan ibadah, ditambah lagi tarian sama kerap diiringi dengan musik baik berupa genderang atau alat musik lainnya yang sebenarnya melalaikan hati

Penutup

Itulah gambaran “ibadah” baru produk kaum sufi. Hakekatnya justru akan menjauhkan dari Allah dan pengagungan Nabi . Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad , sebagaimana yang Beliau ungkapkan dalam khutbatul hajah.

Wallahu a’lam




Sumber: Majalah As Sunnah Edisi 01/Th XV/Jumadil Akhir 1432H/Mei 2011


Pekanbaru, 30 Robi’ul Awwal 1437H