Masyarakat umumnya
memandang persoalan menari berhubungan dengan seni dan budaya. Berbeda dengan
kalangan sufi, mereka memastikan ada ritual tertentu yang berfungsi sebagai
amalan sholeh layaknya ibadah-ibadah yang lain. Belakangan tidak asing lagi
dipertontonkan, aksi berdzikir (beribadah) kepada Allah melalui cara
berputar-putar secara teratur dengan kecepatan yang kian bertambah kencang,
yang dikenal dengan sebutan Whirling Dervishes (darwis-darwis yang
berputar) atau tarian sama’. Pada akhirnya menurut mereka, para penari akan
mengalami keadaan ekstase (fana’), melebur bersama Allah ﷻ.
Atribut mereka, mengenakan
topi yang memanjang keatas, jubah hitam besar, baju putih yang melebar di
bagian bawahnya seperti rok, serta tanpa alas kaki. Mereka membungkukkan badan
tanda hormat lalu mulai melepas jubah hitamnya. Posisi tangan mereka menempel
di dada, bersilang mencengkram bahu. Demikian gambaran global tarian spiritual
tersebut.
Sebagai pihak satu-satunya
yang melegalkan praktek tersebut, mereka menguatkannya dengan menyebutkan
fadhilah (keutamaan) amalan tersebut diantaranya:
-
Meyakini bahwa
pelakunya mendapat pahala sebagaimana orang-orang yang berbuat amal sholeh
-
Meyakini bahwa
menari adalah salah satu faktor efektif untuk menggerakkan keimanan dan amalan
hati, seperti khauf, khasyyah, mahabbah, roja’, sehingga tidak boleh dikatakan
sebagai tindakan main-main
-
Meyakini sebagai faktor
yang mendatangkan rahmat
-
Menyatakan itu
dianjurkan dalam syariat
-
Menyatakan seorang
muslim harus melakukannya untuk menuju Allah ﷻ
Ini semua hanyalah rekaan
kaum sufi semata yang tidak berdasar sama sekali dari syariat, untuk
membenarkan ibadah yang digagas oleh Jalaludin ar Rumi dan menarik simpati umat
Apakah Hal Ini Disyariatkan
???
Kaedah menyatakan pada
asalnya hukum ibadah adalah HARAM kecuali disyariatkan oleh Allah ﷻ dan Rasulullah ﷺ.
Maka, tidak diragukan lagi bila hukum tarian spiritual yang ditujukan untuk
mendekatkan diri kepada Allah ﷻ tersebut tidak boleh
(haram). Berikut beberapa dalil pengharamannya
1.
Allah
ﷻ berfirman:
Dan
tinggalkan lah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan
senda gurau {QS Al An’am 70}
Pada ayat ini Allah ﷻ mencela kaum musyrikin yang menjadikan
acara permainan sebagai ajaran agama. Demikian juga penganut ajaran sufi,
celaan pada ayat juga mengenai mereka karena menjadikan tarian yang jelas
merupakan salah satu bentuk acara main-main dan melalaikan sebagai ajaran agama
untuk mendekatkan diri kepada Allah ﷻ.
2.
Allah
ﷻ berfirman:
Apakah mereka mempunyai
sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak
diizinkan Allah? {QS Asy Syuro 21}
Ayat ini mengharamkan
tarian sufi karena menari dalam rangka beribadah tidak pernah diperintahkan
Allah ﷻ dan tidak diperkenankan untuk dijadikan
sebagai sarana beragama dan beribadah, maka menjadikannya sebagai acara agama
dan ibadah sebagaimana yang dilakukan oleh kaum sufi menunjukkan pensyariatan
sesuatu yang bukan berasal dari Allah ﷻ,
dan ini tidak boleh.
3.
Allah
ﷻ berfirman:
Allah telah
menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu
ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang
takut kepada Rabbnya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu
mengingat Allah {QS Az Zumar 23}
Ayat ini juga membantah
tarian-tarian ibadah ala sufi, sebab telah menjelaskan kondisi kaum mukminin
saat mendengarkan dan menyimak dzikir yang masyru’ (disyariatkan). Kondisi kaum mukminin yang mengenal Allah ﷻ, yang takut kepada hukumanNya, ketika
mendengar firmanNya, janji dan ancamanNya, hati mereka melunak, air mata
bertetesan, kulit gemetar, tampak khusyu dan penuh ketenangan. Tidak seperti
yang dilakukan orang-orang sufi dengan bergerak-gerak menari-nari dengan ritme
tertentu.
Maka kita katakan kepada
mereka ini, “Kondisimu tidak akan pernah menyamai kondisi Rasulullah ﷺ dan kondisi para Shahabat dalam hal ma’rifatullah,
khauf, dan ta’zhim (pengagungan) terhadap kebesaranNya. Meskipun
demikian kondisi mereka saat mendengarkan mauizhah ialah memahaminya dan
menangis karena takut kepadaNya. Siapa saja yang kondisinya tidak seperti ini
berarti bukan diatas petunjuk mereka dan diatas jalan mereka.
4.
Rasulullah
bersabda:
وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ
فِي النَّارِ
Setiap perkara
baru dala agama adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat. Dan setiap
kesesatan di dalam neraka {HR An Nasa’i 1560}
Karena tarian yang
ditujukan ibadah kepada Allah, tidak pernah ada di zaman Nabi dan para
shahabat, berarti merupakan ibadah baru dan setiap ibadah yang tidak dikenal di
zaman Nabi maka termasuk bid’ah.
Al Ghozali menyanggah
penggunaan dalil ini untuk mengharamkan tarian yang ia dukung itu. Katanya,
“Tidak setiap yang dihukumi boleh (harus) ada riwayat dari Shahabat. Yang
terlarang hanyalah melakukan bid’ah yang bertentangan dengan petunjuk Nabi ﷺ yang sudah ada. Sementara itu, tidak ada
riwayat yang melarang ini semua (tarian agama)”.
Syaikhul Islam Ibn Taimiyah
meluruskan pernyataan diatas dengan berkata, “Sesungguhnya mempertahankan
keumuman perkataan Nabi ﷺ ‘setiap bid’ah adalah
sesat’ itu harus, dan wajib mengamalkan keumuman maknanya. Barangsiapa
mengklasifikasikan bid’ah menjadi baik dan jelek dan menjadikannya (klasifikasi
tersebut) sebagai alasan untuk tidak melarang adanya bid’ah sungguh ia telah
keliru. Sebagaimana yang dilakukan oleh kalangan mutafaqqihah (kaum
kurang ilmu), ahlul kalam dan kaum sufi serta ahli ibadah (yang tidak mengikuti
petunjuk Nabi). Jika mereka dilarang dari ibadah-ibadah dan praktek beragama
yang baru (diada-adakan), mereka berkilah bahwa tidak ada bid’ah yang diharamkan
kecuali yang dilarang. Sehingga hadist itu menjadi “setiap yang
dilarang”…”setiap yang diharamkan” atau “setiap yang menyelisihi” nash Nabi
maka merupakan dholalah (kesesatan). Kesalahan ini terlalu jelas untuk
dijelaskan lagi, karena setiap yang tidak disyariatkan dalam agama adalah
sesat.
5.
Ijma
Ulama
Umat Islam telah sepakat
bahwa tarian sufi adalah bid’ah dan hukumnya dilarang. Sejumlah ulama telah
menegaskannya, semisal Ibn Taimiyah, Abu Bakar ath Tharthusi, Taqiyudin as
Subki, Ibn Hajar al Haitami, Abu Abdullah al Qurthubi, Ibn Katsir, Ibrahim bin
Muhammad al Hanafi
6.
Akal
Sehat
Sesungguhnya menari
(tarian) petunjuk kurang akalnya orang yang melakukan, sebagaimana dikatakan
Imam Malik bin Anas. Islam datang untuk menyempurnakan perilaku bani Adam dan
melarang mereka dari perkara-perkara yang mengurangi akal mereka.
Syariat Islam tidak
menyinggung tarian, baik dalam Qur’an dan Hadist. Hal itu juga belum pernah
dilakukan oleh satu Nabi pun dan satu tokoh dari para pengikut Nabi. Karena
mereka belum melakukannya, ini menunjukkan tarian sama tidaklah mengandung satu
kebaikanpun. Seandainya itu baik, tentu para Sahabat akan berlomba untuk
melakukannya.
Tarian sufi berisi sejumlah
keburukan seperti hilangnya muru’ah (kewibawaan), tasyabbuh
(menyerupai) dengan wanita dan anak-anak kecil, menyerupai binatang-binatang
dan menyerupai penganut Nasrani yang menjadikan tarian sebagai bagian dari
agama mereka, mencampuradukkan antara maksiat dan ibadah, ditambah lagi tarian
sama kerap diiringi dengan musik baik berupa genderang atau alat musik lainnya
yang sebenarnya melalaikan hati
Penutup
Itulah gambaran “ibadah”
baru produk kaum sufi. Hakekatnya justru akan menjauhkan dari Allah ﷻ dan pengagungan Nabi ﷺ. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad ﷺ, sebagaimana yang Beliau ﷺ ungkapkan dalam khutbatul hajah.
Wallahu a’lam
Sumber: Majalah As Sunnah
Edisi 01/Th XV/Jumadil Akhir 1432H/Mei 2011
Pekanbaru, 30 Robi’ul Awwal
1437H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar