Senin, 02 November 2015

Beda Tauhid Ahlussunnah Dengan Tauhid Asy’ariyah





Penjelasan Rasulullah Tentang Makna Laa Ilaaha Illallah

Aspek tauhid (aqidah), point terpenting dalam risalah dakwah Rasulullah dan dakwah para Rasul sebelumnya, sudah pasti dapat porsi paling besar, sehingga tidak meninggalkan keraguan dan kesalahpahaman pada diri ummat, yang dapat mengakibatkan terjerumus dalam kekeliruan, penyimpangan dan kesesatan.

Pengertian kalimat tauhid sudah dijelaskan oleh Rasulullah sendiri dalam Sunnah. Karena itu, penjelasannya sudah sangat terperinci, sehingga tidak meninggalkan celah bagi orang untuk menyelisihinya dengan bid’ah, takwil, syubhat atau bentuk penentangan lainnya.

Imam Bukhori dan Imam Muslim meriwayatkan hadist dari Ibn Abbas yang menceritakan, “Ketika Nabi mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau berpesan kepadanya

إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللَّهَ تَعَالَى

Sesungguhnya engkau mendatangi kaum ahli kitab, maka jadikanlah materi dakwah pertama-tama yang engkau sampaikan adalah agar mereka mentauhidkan Allah {HR Bukhori-Muslim}

Dalam riwayat lain:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي حَصِينٍ وَالْأَشْعَثِ بْنِ سُلَيْمٍ سَمِعَا الْأَسْوَدَ بْنَ هِلَالٍ عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مُعَاذُ أَتَدْرِي مَا حَقُّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ قَالَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا أَتَدْرِي مَا حَقُّهُمْ عَلَيْهِ قَالَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ أَنْ لَا يُعَذِّبَهُمْ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Ghundar telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Abu Hushain dan Al Asy'ats bin Sulaim keduanya mendengar Al Aswad bin Hilal dari Mu'adz bin Jabal berkata, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Wahai Mu'adz, tahukah kamu hak Allah atas hamba? Allah dan rasul-Nya yang lebih tahu, Jawab Mu'adz. Nabi bersabda lagi: Yaitu agar mereka beribadah kepada-Nya dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Tahukah engkau apa hak mereka atas Allah? tanya Nabi selanjutnya.Allah dan Rasul-Nya yang lebih lebih tahu. Jawab Mu'adz. Nabi bersabda: Yaitu agar Dia tidak menyiksa mereka {HR Bukhori-Muslim}

Kandungan riwayat tersebut maknanya sama, bahwa tauhid kepada Allah adalah mengesakan Allah dalam ibadah dan menjauhi peribadahan kepada selainNya, dan inilah makna syahadat.

Imam Bukhori menempatkan Hadist diatas dalam permulaan kitab at tauhid dalam shahihnya dengan memberi judul “bab dakwah Nabi kepada umatnya untuk bertauhid kepada Allah ”. Tujuannya untuk menjelaskan bahwa inti dakwah Nabi Muhammad adalah untuk mengesakan Allah dalam ibadah.

Imam Bukhori ingin menjelaskan makna tauhid dengan menyebutkan tujuan utamanya yaitu mengesakan Allah dalam ibadah dan kufur kepada selainNya. Ini yang dinamakan tauhid uluhiyah karena urgensinya. Orang yang merealisasikannya sungguh telah menunaikan hak Allah atas dirinya.

Pengertian ini, sama dengan firman Allah :

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.{QS Al Baqoroh 256}

Pandangan Asy’ariyah Tentang Tauhid

Gelar mulia Ahlu Sunnah wal Jama’ah sering diklaim oleh golongan asy’ariyah. Sebagian masyarakat pun menilai demikian. Padahal mereka bukan Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Bahkan sikap ketidaksetujuan juga penentangan terhadap hal-hal yang dilakukan oleh para penganut aliran ini, akan membuat mereka menjatuhkan vonis bukan Ahlu Sunnah wal Jama’ah bagi yang berseberangan dengan mereka. Kendatipun yang ditentang merupakan hal-hal yang jelas-jelas tidak ada dasarnya, bertentangan dengan nash-nash syar’i dan terkadang menjadi wasilah menuju syirik atau merupakan syirik yang jelas.

Realita diatas harus dikaji ulang. Golongan asy’ariyah dalam perjalanan pembentukannya banyak terpengaruh oleh ilmu kalam yang bersumber dari filsafat Yunani Kuno. Maka, tak mengherankan, ada sekian perkara yang diadopsi oleh golongan asy’ariyah berseberangan dengan prinsip-prinsip Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Pemaknaan tauhid menurut mereka pun sangat berbeda dengan nash-nash syar’i dalam al Qur’an dan penjelasan Nabi dalam Hadist-hadist.

Dari situ, golongan asy’ariyah masuk kategori Ahlul Kalam. Pengertian tauhid kepada Allah menurut kebanyakan ahlul kalam dalam kitab-kitab mereka tidak lepas dari tiga hal berikut:

1.    Allah Maha Esa dalam DzatNya, tidak terbagi-bagi
2.    Allah Maha Esa dalam sifat-sifatNya, tidak ada yang serupa denganNya
3.    Allah Maha Esa dalam seluruh perbuatanNya, tidak ada sekutu bagiNya

Tauhid yang paling popular dari ketiga jenis tauhid diatas adalah tauhid jenis ketiga, tauhid af’aal. Maksudnya, Allah lah satu-satunya Dzat Yang Menciptakan alam semesta beserta isinya, Yang Mengatur, Pemberi Rizki dan makna rububiyah yang lain.

Sementara makna ilaah menurut mereka adalah yang maha kuasa untuk mencipta, sehingga makna Laa Ilaaha Illallaah menjadi “Tiada Yang Berkuasa Menciptakan Kecuali Allah ”. Menurut pandangan asy’ariyah inilah tauhid yang dituntut semua manusia mengimaninya, sebagai penjabaran kalimat thayyibah.

Simak apa yang tertera pada sebagian kitab-kitab kaum asy’ariyah. Imam As-Sahrastani berkata, “Tentang tauhid, Ahlu Sunnah dan seluruh golongan yang menetapkan sifat-sifat bagi Allah (maksud Ahlu Sunnah disini adalah Asy’ariyah dan yang sejalan dengan pemikiran mereka) menyatakan Allah Maha Esa dalam Dzatnya, tidak terbagi-bagi; Allah Maha Esa dalam sifat-sifatNya, tidak ada yang serupa denganNya; Allah Maha Esa dalam seluruh perbuatanNya, tidak ada sekutu bagiNya” (Milal wan Nihal 1/42)

Abu Thalib al Makki berkata, “Yang dimaksud dengan tauhid ialah keyakinan hati bahwa Allah Maha Esa, tiada berbilang, tidak ada yang kedua bagiNya; Allah itu ada, tanpa ada keraguan. Nama-nama dan sifat-sifatNya serta cahaya-cahayaNya bukan makhluk, tidak lepas dariNya” (Qutul Qulub 2/83-90)

Ibnu Hajar al Haitami berkata, “Tauhid yaitu pengakuan bahwa Allah Maha Esa dalam DzatNya, tiada berbilang dalam kondisi apapun; Allah Maha Esa dalam sifat-sifatNya, tidak ada yang serupa denganNya dalam kondisi apapun dan Allah Maha Esa dalam seluruh perbuatanNya, tidak ada yang membantu dan sekutu baginya” (Ibn Hajar al Haitami al I’tiqadiyyah hal 100)

Penganut Asy’ariyah masa kini pun, tidak berbeda dengan pendahulunya, dalam memaknai tauhid. Yaitu, keyakinan yang shahih adalah (dengan meyakini) bahwa Dzat yang menciptakan manusia dan perbuatannya adalah Allah semata. Dia lah Dzat Yang Mencipta manusia dan perbuatan mereka, tidak ada yang berpengaruh pada sesuatu selainNya. Inilah tauhid murni. Jika keyakinannya bertentangan dengan ini maka akan terjerumus dalam kesyirikan (Hadzihi Mafahimuna)

Syaikh DR Muhammad al Khumayyis berkata, “Setelah pemaparan ini, dapat diperhatikan bahwa syirik dalam uluhiyah (peribadahan) tidak disebutkan, padahal tauhid uluhiyah merupakan pokok agama Islam. Dalam perkara ini terjadilah  perselisihan antara para Rasul dan kaum-kaum mereka. Itulah (tauhid uluhiyah) risalah yang menjadi alasan utama para Rasul diutus, sebagaimana firman Allah :  

Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku. {QS Al Ambiya 25}

Meluruskan Pemahaman Tauhid Kaum Asy’ariyah  

Sudah jelas bahwa adanya perbedaan antara misi tauhid yang didakwahkan Rasulullah dengan pemaknaan tauhid oleh kaum asy’ariyah. Keyakinan Allah merupakan satu-satunya Dzat Yang Menciptakan, Memberi Rizki dan makna rububiyah lainnya ternyata telah diimani oleh kaum musyrikin jahiliyah. Mereka tidak pernah berkeyakinan berhala-berhala yang mereka sembah menciptakan alam semesta atau memberi rizki, anak dan sebagainya. Mereka tidak meyakini patung-patung yang mereka agungkan memiliki kekuasaan seperti kekuasaan Allah .

Allah mengabarkan tentang keyakinan mereka ini dalam beberapa ayat Al Qur’an:

Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah." Maka katakanlah "Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?" {QS Yunus 31}

Allah juga berfirman:

Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka menjawab: "Allah." Katakanlah: "Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmatNya?. Katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku." Kepada- Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri. {QS Az Zumar 38}

Namun tauhid ini tidak bermanfaat bagi orang yang meyakininya bila tidak dilanjutkan dengan pengesaan Allah dalam ubudiyah (tauhid uluhiyah) dan menjauhi syirik. Sejarah mencatat, Nabi tetap memerangi kaum musyrikin Mekkah dan label musyrikin pun tetap melekat pada mereka.

Imam ibn Qoyyim berkata, “Seandainya model keyakinan tauhid ini saja (tauhid rububiyah) sudah dapat menyelamatkan, tentu dahulu sudah dapat menyelamatkan kaum musyrikin (dari pedang kaum muslimin)” {Madarijus Salikin 1/327}

Keyakinan tauhid yang demikian menyebabkan orang-orang mudah terjerumus kedalam lubang syirik atau akses menuju syirik, namun tidak sadar telah melakukan pelanggaran yang besar. Meminta kepada “wali” (orang) yang sudah meninggal dengan dalih bertawasul kepada Allah salah satu kebiasaan yang terjadi pada kaum asy’ariyah. Tak heran, ritual ziarah kubur “wali” menjadi acara yang diagendakan.

Masalah akan lebih jelas lagi melalui pengakuan Syaikh Khalil Harras, seorang alim pengajar di universitas al Azhar Mesir, dan dahulu beliau beraqidah asy’ariyah, kemudian mendapatkan hidayah sehingga meninggalkannya. Beliau menerangkan dampak buruk jauhnya seseorang dari tauhid yang dibawa para Nabi dan Rasul, yaitu terjerumus dalam kesyirikan atau melakukan sarana menuju kesyirikan tanpa sadar.

Beliau berkata, “Diantara perkara aneh, para penganut madzhab asy’ariyah melihat bahwa aspek uluhiyah yang paling istimewa bagi Allah adalah meyakini kemahaesaanNya dalam menciptakan dan membuat (alam semesta). Padahal sudah dimaklumi, keyakinan kemahaesaan Allah dalam mencipta adalah tauhid rububiyah yang dahulu sudah diyakini oleh kaum musyrikin jahiliyah. Sementara jenis tauhid yang paling agung dan terpenting (tauhid uluhiyah yaitu kewajiban mentauhidkan Allah dalam segala bentuk peribadatan) tidak mereka perhatikan dan juga tidak ditemukan pembahasan ini dalam kitab-kitab karya ulama mereka. Sepertinya inilah rahasia mengapa sebagian besar dari mereka terjerumus dalam bid’ah tasawuf, dan mendiamkan wasilah-wasilah berupa kesyirikan yang diperbuat saat mengunjungi kubur-kubur para masyaikh yang sudah meninggal” (Da’wah at Tauhid 231)

Syaikh Abdul Malik Ramadhani berkomentar, “ini sebuah catatan dari seorang ulama al Azhar yang sangat paham tentang mereka. Ingatlah itu”.



Sumber: Majalah As-Sunnah 09/Th XV/ Shafar 1433H/Januari 2012


Pekanbaru, 21  Muharram 1437H



  




Tidak ada komentar:

Posting Komentar