SYUBHAT
KETIGA
Periwayatan
Hadist dengan makna
Mereka
mengatakan: Keterlambatan penulisan Sunnah menimbulkan dampak negatif yang
besar terhadap Hadist itu sendiri. Kondisi ini menyebabkan munculnya periwayatan
Hadist dengan makna, sehingga metodologi ini menjadi kaedah dasar yang
invariabel yang diakui di kalangan Ulama Hadist, sehingga menyebabkan perhatian
mereka terhadap makna lebih besar dari perhatian terhadap lafadz Hadist.
Sehingga hilanglah keaslian lafadz-lafadz Hadist dan maknanya yang menyebabkan
para ahli nahwu atau bahasa tidak berdalil dengan lafal-lafal Hadist Nabawi
dalam menetapkan bahasa dan kaedah-kaedah nahwu, karena kekhawatiran bahwa
lafadz-lafadz tersebut telah diwarnai oleh kepribadian para perawi
BANTAHAN
Pernyataan
diatas juga tidak benar, jauh dari penelitian yang obyektif dan ilmiah,
berdasarkan beberapa point berikut:
Pertama: Periwayatan dengan makna bukanlah kaedah dasar dalam meriwayatkan Hadist
menurut Ulama Hadist, bahkan yang menjadi kaedah dasar dalam hal ini adalah
periwayatan Hadist dengan lafadznya. Diantara bukti nyata yang menjelaskan hal
ini adalah perbedaan pendapat para Ulama tentang hukum meriwayatkan Hadist
dengan makna kepada dua pendapat:
1. Periwayatan Hadist dengan makna tidak diperbolehkan bagi orang yang tidak
memahami makna dan maksud lafadz dalam bahasa Arab, dan tidak mengetahui
sinonim kata. Ini adalah perkara yang wajib tanpa ada perbedaan di kalangan
Ulama. Karena orang yang tidak mengetahui hal tersebut tentu akan salah dalam
meriwayatkannya. Adapun orang yang mengetahui makna dan maksud lafadz-lafadz
bahasa Arab dan perbedaannya, maka para Ulama Salaf, Ahlul hadist dan para
fuqaha berbeda pendapat tentang hukumnya, mayoritas mereka membolehkan hal itu
(meriwayatkan dengan makna) jika ia memastikan mampu menyampaikan makna lafadz
Hadist yang ia dengar.
2. Melarang meriwayatkan Hadist dengan makna secara mutlak, bahkan wajib
menukilkan lafadz Hadist sebagaimana aslinya, tanpa ada perbedaan antara orang
yang mengetahui makna lafadz atau tidak. Ini adalah pendapat mayoritas salaf,
orang-orang yang teliti dalam periwayatan Hadist, dan ini adalah pendapat Imam
Malik dan mayoritas Ahlul Hadist.
Jadi hukum
asal periwayatan Hadist adalah periwayatan dengan lafadz bukan dengan makna,
adapun periwayatan dengan makna adalah cabang bukan asal, dan itupun hanya bagi
orang yang menguasai dan memahami makna lafadz Hadist, bukan secara mutlak.
Kedua: Kendati hukum asal periwayatan hadist adalah dengan makna menurut
pendapat orientalis dan para pengikutnya, akan tetapi tentu tidak akan
menimbulkan dampak negatif yang besar terhadap hadist itu sendiri sebagaimana
yang mereka bayangkan dan katakan, yaitu hilangnya kepercayaan terhadap
keabsahan lafadz hadist dan maknanya, karena perbedaan lafadz-lafadz hadist
nabawi tidak disebabkan oleh periwayatan hadist dengan makna saja, akan tetapi
ada faktor-faktor yang lain yang menyebabkan hal itu, seperti perbedaan waktu
dan tempat, kejadian dan kondisi, orang yang mendengar dan meminta fatwa, para
utusan yang datang dan yang diutus, dan yang lain. Berdasarkan perbedaan
tersebut maka berbeda pula jawaban dan lafadz hadist yang disampaikan oleh Rasulullah
ﷺ .
Ketiga: Kemudian pernyataan mereka bahwa tidak seorangpun dari ahli bahasa dan
nahwu dari kalangan mutaqoddimin berdalil dengan hadist. Seandainya ini benar
bukan berarti mereka tidak membolehkan berdalil dengan hadist dalam penetapan
kaedah bahasa Arab dan bukan juga karena ketidakabsahan berdalil dengan hadist
dalam hal ini, akan tetapi karena ketidaktahuan mereka tentang hadist yang
marfu’ yang shohih dari Rasulullah ﷺ,
karena keterbatasan ilmu mereka dalam hal ini.
Akan tetapi
hakekat keilmiahan menjelaskan kesalahan pernyataan diatas, karena para Ulama
yang pakar bahasa dan ahli nahwu telah berdalil dengan hadist dalam menetapkan
ilmu bahasa dan nahwu, seperti Imam Ibn Malik yang pakar nahwu dan ahli hadist.
Beliau banyak berdalil dalam hadist dalam displin ilmu ini, oleh karena itu ash
Shafadi mengatakan: “Ibn Malik adalah seorang yang alim dalam
memutala’ah/mengkaji hadist, beliau sangat banyak berdalil (tentang nahwu/bahasa)
dengan al Qur’an, jika ia tidak menemukan didalamnya dalil, maka beliau
berpindah ke hadist, jika beliau tidak menemukan dalil dalam hadist maka beliau
berpindah ke syi’ir syi’ar Arab.
Jadi
jelaslah kebatilan pernyataan diatas bagi orang-orang yang masih berfikir
dengan obyektif dan bersikap ilmiah, akan tetapi para pengekor hawa nafsu tentu
berpaling dari kebenaran dan hakekat yang valid.
Sumber :
Majalah As Sunnah Edisi 10 Tahun XV Rabi’ul Awwal 1433H
Pekanbaru, 20
Dzulhijjah 1436H
Casino - Dr. McD & Co.
BalasHapusCasino is a great place for sports betting. It offers a 아산 출장마사지 convenient location 정읍 출장마사지 and convenient 제천 출장마사지 location for sports betting enthusiasts. casino. 경주 출장마사지 casino. 이천 출장안마 game. gambling.