Sabtu, 03 Oktober 2015

Menyingkap Syubhat Orientalis Tentang Hadist (3)




 SYUBHAT KETIGA

Periwayatan Hadist dengan makna

Mereka mengatakan: Keterlambatan penulisan Sunnah menimbulkan dampak negatif yang besar terhadap Hadist itu sendiri. Kondisi ini menyebabkan munculnya periwayatan Hadist dengan makna, sehingga metodologi ini menjadi kaedah dasar yang invariabel yang diakui di kalangan Ulama Hadist, sehingga menyebabkan perhatian mereka terhadap makna lebih besar dari perhatian terhadap lafadz Hadist. Sehingga hilanglah keaslian lafadz-lafadz Hadist dan maknanya yang menyebabkan para ahli nahwu atau bahasa tidak berdalil dengan lafal-lafal Hadist Nabawi dalam menetapkan bahasa dan kaedah-kaedah nahwu, karena kekhawatiran bahwa lafadz-lafadz tersebut telah diwarnai oleh kepribadian para perawi

BANTAHAN

Pernyataan diatas juga tidak benar, jauh dari penelitian yang obyektif dan ilmiah, berdasarkan beberapa point berikut:

Pertama: Periwayatan dengan makna bukanlah kaedah dasar dalam meriwayatkan Hadist menurut Ulama Hadist, bahkan yang menjadi kaedah dasar dalam hal ini adalah periwayatan Hadist dengan lafadznya. Diantara bukti nyata yang menjelaskan hal ini adalah perbedaan pendapat para Ulama tentang hukum meriwayatkan Hadist dengan makna kepada dua pendapat:

1.    Periwayatan Hadist dengan makna tidak diperbolehkan bagi orang yang tidak memahami makna dan maksud lafadz dalam bahasa Arab, dan tidak mengetahui sinonim kata. Ini adalah perkara yang wajib tanpa ada perbedaan di kalangan Ulama. Karena orang yang tidak mengetahui hal tersebut tentu akan salah dalam meriwayatkannya. Adapun orang yang mengetahui makna dan maksud lafadz-lafadz bahasa Arab dan perbedaannya, maka para Ulama Salaf, Ahlul hadist dan para fuqaha berbeda pendapat tentang hukumnya, mayoritas mereka membolehkan hal itu (meriwayatkan dengan makna) jika ia memastikan mampu menyampaikan makna lafadz Hadist yang ia dengar.

2.    Melarang meriwayatkan Hadist dengan makna secara mutlak, bahkan wajib menukilkan lafadz Hadist sebagaimana aslinya, tanpa ada perbedaan antara orang yang mengetahui makna lafadz atau tidak. Ini adalah pendapat mayoritas salaf, orang-orang yang teliti dalam periwayatan Hadist, dan ini adalah pendapat Imam Malik dan mayoritas Ahlul Hadist.

Jadi hukum asal periwayatan Hadist adalah periwayatan dengan lafadz bukan dengan makna, adapun periwayatan dengan makna adalah cabang bukan asal, dan itupun hanya bagi orang yang menguasai dan memahami makna lafadz Hadist, bukan secara mutlak.

Kedua: Kendati hukum asal periwayatan hadist adalah dengan makna menurut pendapat orientalis dan para pengikutnya, akan tetapi tentu tidak akan menimbulkan dampak negatif yang besar terhadap hadist itu sendiri sebagaimana yang mereka bayangkan dan katakan, yaitu hilangnya kepercayaan terhadap keabsahan lafadz hadist dan maknanya, karena perbedaan lafadz-lafadz hadist nabawi tidak disebabkan oleh periwayatan hadist dengan makna saja, akan tetapi ada faktor-faktor yang lain yang menyebabkan hal itu, seperti perbedaan waktu dan tempat, kejadian dan kondisi, orang yang mendengar dan meminta fatwa, para utusan yang datang dan yang diutus, dan yang lain. Berdasarkan perbedaan tersebut maka berbeda pula jawaban dan lafadz hadist yang disampaikan oleh Rasulullah .
Ketiga: Kemudian pernyataan mereka bahwa tidak seorangpun dari ahli bahasa dan nahwu dari kalangan mutaqoddimin berdalil dengan hadist. Seandainya ini benar bukan berarti mereka tidak membolehkan berdalil dengan hadist dalam penetapan kaedah bahasa Arab dan bukan juga karena ketidakabsahan berdalil dengan hadist dalam hal ini, akan tetapi karena ketidaktahuan mereka tentang hadist yang marfu’ yang shohih dari Rasulullah , karena keterbatasan ilmu mereka dalam hal ini.

Akan tetapi hakekat keilmiahan menjelaskan kesalahan pernyataan diatas, karena para Ulama yang pakar bahasa dan ahli nahwu telah berdalil dengan hadist dalam menetapkan ilmu bahasa dan nahwu, seperti Imam Ibn Malik yang pakar nahwu dan ahli hadist. Beliau banyak berdalil dalam hadist dalam displin ilmu ini, oleh karena itu ash Shafadi mengatakan: “Ibn Malik adalah seorang yang alim dalam memutala’ah/mengkaji hadist, beliau sangat banyak berdalil (tentang nahwu/bahasa) dengan al Qur’an, jika ia tidak menemukan didalamnya dalil, maka beliau berpindah ke hadist, jika beliau tidak menemukan dalil dalam hadist maka beliau berpindah ke syi’ir syi’ar Arab.
Jadi jelaslah kebatilan pernyataan diatas bagi orang-orang yang masih berfikir dengan obyektif dan bersikap ilmiah, akan tetapi para pengekor hawa nafsu tentu berpaling dari kebenaran dan hakekat yang valid.



Sumber : Majalah As Sunnah Edisi 10 Tahun XV Rabi’ul Awwal 1433H


Pekanbaru, 20 Dzulhijjah 1436H

1 komentar:

  1. Casino - Dr. McD & Co.
    Casino is a great place for sports betting. It offers a 아산 출장마사지 convenient location 정읍 출장마사지 and convenient 제천 출장마사지 location for sports betting enthusiasts. casino. 경주 출장마사지 casino. 이천 출장안마 game. gambling.

    BalasHapus